MEDIA
RAKYAT, SENI RAKYAT DAN OPINION LEADER
Di susun untuk memenuhi
tugas mata kuliah
Sistem Komunikasi Indonesia
Disusun
oleh :
Suci Rahmawati (201311011)
PROGRAM STUDI
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SURAKARTA
2014
A. Media Rakyat
1. Pengertian Media Rakyat
Secara harfiah, media berasal dari
bahasa latin “medius” yang bermakna tengah, perantara, atau pengantar. Menurut
Arsyad, media yakni sebuah perantara/pengantar pesan dari pengirim kepada
penerima pesan tersebut. Sedangkan menurut Cangara, media adalah sarana yang
digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada orang lain. Jadi, media
merupakan saluran penyampaian pesan dalam komunikasi antar manusia.
Secara umum, rakyat adalah semua
orang yang menjadi penghuni Negara yang tunduk dan patuh pada kekuasaan Negara
tersebut. Menurut KBBI, rakyat adalah penduduk yang berada di suatu Negara.
Sedangkan menurut AA Nurdiman, rakyat adalah kumpulan manusia yang disatukan
oleh rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah Negara.
Media rakyat merupakan
salah satu saluran komunikasi alternatif untuk menyalurkan ide, gagasan,
aspirasi, inovasi, dan juga kritik yang berhubungan dengan pembangunan. Media
ini muncul mengingat komunikasi yang bersifat top-down tidak lagi dapat
mewadahi apa yang menjadi keinginan masyarakat pada lapisan bawah.
Media rakyat sering disebut juga sebagai media
tradisional, mengandung pengertian : ”sebuah sistem komunikasi yang
melekat dalam kebudayaan yang telah eksis sebelum media massa muncul. Dan masih
eksis sebagai model komunikasi yang vital diberbagai belahan dunia, menyajikan
sebuah tingkat kelancaran tertentu, meski berubah-ubah”. (Dissanayake dalam
Dilla, 2007). Sementara itu Ranganath mendefinisikan media rakyat sebagai
ekspresi hidup tentang gaya hidup dan kebudayaan sebuah masyarakat, yang berkembang
selama bertahun-tahun.
Coseteng dan Nemenzo (dalam
Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal,
gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh
mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka
dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.
Pengertian media rakyat di atas menunjukkan
bahwa media rakyat adalah media yang mengakar dalam satu masyarakat yang
meliputi aneka ragam bentuk, yang mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Media rakyat tampil dalam bentuk nyanyian rakyat, tarian rakyat, musik
instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat yaitu semua kesenian rakyat
apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan yang diteruskan dari
generasi ke generasi.
Disamping itu adapula media yang telah menggunakan
teknologi namun tingkat kecanggihannya tidak sama dengan teknologi komunikasi
yang populer. Media rakyat yang menggunakan teknologi sederhana banyak dijumpai
dalam masyarakat yang sedang berkembang. Media tersebut seringkali dilupakan
seperti : radio komunikasi yang dikenal dengan Handy Talky, interkom,
koran masuk desa, radio pemancar terbatas ( radio komunitas ), atau boleh
juga media kentongan.
Media dengan teknologi sederhana ini mudah
dioperasikan dan mudah perawatannya. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa media
ini membantu mewujudkan banyak hal dalam pembangunan masyarakat khususnya masyarakat
pedesaan. Masyarakat dapat menggunakan media ini untuk kepentingan mereka dalam
mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang mereka perlukan.
Media rakyat yang fleksibel dan berisikan komunikasi yang persuasif tentunya akan sangat mudah disisipkan pesan-pesan pembangunan. Media rakyat biasanya berisikan tentang keteladanan, simbol, ritual, cita-cita budaya, dan nilai (buruk dan baik), semua itu dikomunikasikan dengan gaya bahasa yang dekat dengan masyarakat.
2. Keunggulan Media Rakyat
Awalnya media rakyat digunakan untuk kepentingan
menghibur masyarakat. Media tersebut banyak dimanfaatkan dalam upacara tertentu
seperti perkawinan, panen, penyambutan tamu, bahkan upacara kematian. Namun
lambat laun para ahli dan peneliti mengamati bahwa media rakyat memiliki
potensi dalam upaya pembangunan masyarakat. Hal ini karena media ini
tidak asing lagi bagi mereka, sehingga apabila pesan pembangunan disisipkan
dalam media ini, masyarakat dapat dengan mudah memahami dan menerima pesan yang
disampaikan.
Selain itu media rakyat relatif murah dan mudah dalam
pengoperasiannya. Prinsip murah dan mudah tentu saja menguntungkan bagi
masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang belum
mapan dan tingkat pengetahuan yang masih rendah. Media rakyat yang murah dan
mudah akan sangat membantu dalam upaya memajukan pengetahuan, sikap dan
perilaku mereka menuju kehidupan yang lebih baik.
Keunggulan lain dari media rakyat adalah
pengakuan dan penghargaan dari masyarakatnya, yang amat menghargai keberadaan
media ini. Pengakuan dan penghargaan yang diberikan akan melancarkan upaya
penyampaian pesan pembangunan melalui media ini. Masyarakat tidak akan berani
menolak dan menganggap bahwa pesan yang disampaikan adalah benar dan dipercaya
untuk memajukan masyarakat.
Khusus bagi negara Indonesia, potensi media rakyat sangat besar tersedia. Masing-masing daerah memiliki budaya serta media yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan pembangunan. Alternatif seperti ini merupakan strategi pembangunan yang cerdas, mengingat penguasaan dan penciptaan teknologi masih rendah pada masyarakat kita.
3. Peran Media Rakyat Dalam
Pembangunan Masyarakat
Pembangunan masyarakat dapat dilakukan dengan
memanfaatkan media dan teknologi yang canggih. Strategi pembangunan yang baru
menemukan bahwa media alternatif diperlukan dalam mengkomunikasikan suatu ide,
gagasan ataupun inovasi pembangunan. Hasil penelitian R.J. Griffin
menemukan bahwa perencana kampanye informasi yang berhubungan dengan isu-isu
kompleks masyarakat, secara eksplisit perlu memilih jenis media berbeda (
relevan ) sehingga dapat menjangkau sektor khalayak yang berbeda (dalam Dilla, 2007).
Penggunaan media rakyat sebagai media alternatif
pembangunan didasarkan pada beberapa alasan diantaranya, minimnya pengetahuan
dan ketrampilan, status sosial ekonomi yang rendah, kemampuan baca tulis yang
kurang. Pengetahuan dan ketrampilan masyarakat khususnya masyarakat Indonesia
baik di perkotaan dan di pedesaan cenderung masih rendah. Kondisi semacam
ini yang membuat pelaku pembangunan harus memiliki alternatif, dan media rakyat
adalah alternatif yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan.
Selanjutnya kemampuan baca tulis yang masih rendah
merupakan alasan mengapa kita harus memilih media rakyat. Penampilan teater,
tradisi lisan, bentuk wayang, tarian dan nyanyian, biasanya dapat ditampilkan
oleh seseorang tanpa dia harus pintar membaca atau menulis. Ketrampilan
melakukan media rakyat tersebut bisa dipelajari secara mandiri atau belajar
dengan orang lain. Bakat dan kemauan berlatih adalah syarat utama untuk dapat
menguasai media rakyat ini.
Media rakyat menjadi alternatif pilihan karena cara
berfikir masyarakat yang masih irrasional. Artinya masih banyak menggunakan
perasaan, bukan akal sehat. Cara berfikir semacam ini tentu saja menyulitkan
dalam menyampaikan pesan pembangunan. Oleh karena itu lewat kesenian, tradisi
dan budaya lokal, pesan tersebut dapat disampaikan. Media ini mengakomodir
perasaan, emosi seseorang, sehingga pesan tadi dapat dipahami dan
dimengerti dengan mudah.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam menggunakan
media rakyat dalam pembangunan. Pertama, memahami dengan baik karakter saluran
komunikasi berupa media rakyat dengan baik. Dengan memahami karakter media
rakyat ini diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dalam penggunaannya. Hal ini
karena media rakyat di beberapa daerah menempati posisi suci dan penting,
sehingga dalam penggunaannya harus mengikuti aturan tertentu dan tidak boleh
sembarangan.
Kedua, memadukan media rakyat dengan media massa adalah pilihan yang tepat. Kehidupan modern dan serba canggih dewasa ini, membuat media massa tidak lepas dari kehidupan sehari-hari kita. Televisi, surat kabar, radio, film dan internet setiap hari menyampaikan aneka ragam pesan dalam sekejap. Apabila media rakyat digabung dengan media massa, maka penggabungan ini dapat memberi keuntungan. Antara lain media rakyat tersebut dapat dikenal dan disampaikan kepada sejumlah khalayaknya dalam waktu yang singkat. Kasus di Indonesia seperti : penayangan wayang orang atau wayang kulit di televisi. Penampilan wayang tersebut diselipkan pula tentang pesan pembangunan seputar demokrasi, pendidikan politik dalam memilih, atau pesan tentang keluarga berencana.
4. Bentuk Penerapan Media Rakyat
Dalam Pembangunan
a. Kacapian di Radio Abilawa Subang Jawa Barat
Masyarakat Jawa Barat, khususnya suku sunda tidak
bisa dipisahkan dari kesenian adat kacapian. Kacapian tidak saja dimainkan pada
saat hajatan pernikahan atau sunatan saja tetapi juga pada acara besar seperti
acara ruwatan bumi. Acara kacapian di radio Abilawa diselenggarakan secara Live
menyertakan penggemar dan warga masyarakat. Jadi kadang-kadang orang berkumpul
di studio bisa mencapai 20 – 30 orang. Acara kacapian menjadi sarana efektif
dalam menyampaikan informasi dan mewadahi dialog interaktif antarwarga.
Kadangkala dalam acara tersebut, pihak radio mengundang pihak-pihak dianggap
kompeten sebagai narasumber, seperti : aparat desa, kecamatan atau pejabat
terkait sesuai dengan topik pembicaraan. Kepala desa sebagai tokoh aparat,
selalu datang di setiap acara tanpa perlu diundang lagi.
b. Alunan nazam di radio komunitas Samudra FM Geudong Aceh Utara
Alunan nazam adalah alunan syair khas Aceh. Setiap
jumat malam dari jam 22.00 – 24.00 radio menyiarkan alunan nazam tersebut. Ada
beberapa kelompok nazam yang berpartisipasi. Setiap jumat malam anggota
kelompok secara bergiliran membacakan nazam. Kecintaan, kepedulian, dan
semangat untuk melestarikan nazam memupuk rasa keihklasan dan semangat
sukarela. Kelompok nazam didominasi oleh para ibu. Mereka membacakan nazam
selama 2 jam dan pulang larut malam.
Alunan nazam ternyata diminati terutama oleh kaum
orang tua. Banyak warga menyarankan agar nazam ini rutin diperdengarkan.
Dukungan mulai mengalir. Dari ikut menuliskan syair dan mengirimkan naskah,
sampai dukungan dalam bentuk uang. Dana yang terkumpul dibelikan dispenser
untuk pengelola dan pembaca nazam. Peran masyarakat dalam bentuk partisipasi
dan kesadaran tinggi akan informasi dan pentingnya media komunitas sebagai alat
untuk mengaktualisasikan kemampuan dalam berkesenian, diharapkan akan membawa
perubahan yang berarti dan bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Wayang Purwa di pulau Jawa
Wayang Purwa di definisikan sebagai bentuk seni
pertunjukan yang menggunakan boneka dari kulit serta menyajikan cerita yang
pada mulanya berasal dari cerita kepahlawanan Hindu : Ramayana dan Mahabarata.
Wayang purwa dapat menjadi penghubung antara pandangan yang berbeda antara
penduduk kota dan desa. Wayang ini dapat membantu mengurangi lebarnya jurang
pemisah komunikasi, mencegah terjadinya perpecahan dalam masyarakat.
Dewasa ini wayang purwa dapat ditampilkan secara live atau disiarkan melalui
stasiun radio, dimana dapat diselipkan pesan berisi tentang keluarga berencana,
pengenalan jenis padi berproduktivitas tinggi, dan pesan-pesan lainnya.
Pertunjukan wayang biasanya berlangsung semalam
suntuk, yang dibagi menjadi tiga bagian. Pathel nem, pathel sanga, dan pathel
mayura. Pembagian ini disusun secara tradisional, masing-masing bagian terdiri
dari babak dan adegan-adegan. Isi cerita terdiri dari berbagai pokok
pembicaraan, mulai dari lelucon sehari-hari sampai pada pembicaraan yang rumit
tentang filsafat dan ajaran kebatinan.
Meskipun wayang purwa merupakan suatu bentuk seni jawa, tetapi ceritanya sedikit memiliki perbedaan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Bentuk kesenian ini dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia. Irang sunda di Jawa Barat mengetahui cerita tersebut yang disebut dengan wayang golek, di Jawa Timur wayang purwa mempunyai corak sendiri yang dikenal sebagai wayang orang.
5. Ragam Media Tradisional
Nurudin (2004) mengatakan
bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni
tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat
dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai
bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor, yaitu:
a.
Cerita prosa
rakyat (mite, legenda, dongeng)
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Dongeng adalah prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.
b.
Ungkapan
rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah)
Menurut Cervantes ungkapan tradisional adalah kalimat pendek yang
disarikan dari pengalaman yang panjang. Sedangkan Bertrand Russel menganggapnya
sebagai kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan seseorang. Menurut Russel bahwa meskipun ungkapan tradisional adalah milik
kolektif, namun yang menguasai hanyalah beberapa orang saja.
c.
Puisi rakyat
Sajak atau puisi rakyat adalah kesusatraan rakyat
yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat,
ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata,
lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama.
d.
Nyanyian
rakyat
Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat adalah
salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang
beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk
tradisional, serta banyak mempunyai varian.
e.
Teater
rakyat
Teater
rakyat merupakan seni pertunjukan yang biasanya mengekspresikan dan
menggambarkan kehidupan suatu rakyat.
f.
Gerak
isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g.
Alat
pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h.
Alat
bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secara apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh suatu televisi swasta.
6. Fungsi Media Tradisional
William Boscon (dalam Nurudin,
2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai media tradisional adalah
sebagai berikut:
1.
Sebagai
sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat
jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat
yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah
cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang
angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun
diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu tirinya, namun pada akhirnya berhasil
menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang
itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
2.
Sebagai
penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat
(bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena mempunyai
kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemampuannya memperistri ”makhluk
halus”. Rakyat tidak boleh menentang Raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada
pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat
ketika masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai
Parang Kusumo.
3.
Sebagai alat
pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini
mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar
akan mendapat imbalan yang layak.
4.
Sebagai alat
paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi. Cerita
”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian sosial
terhadap norma dan nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang
banyak bicara namun sedikit kerja.
Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada
kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan
semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh
masyarakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan ini biasanya diiringi
oleh musik daerah setempat (Direktorat Penerangan Rakyat dalam Jahi, 1988).
Ranganath (1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan
massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah.
Ia disenangi baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara
tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki
potensi yang besar bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan
balik yang segera. Ranganath juga memepercayai bahwa media tradisional dapat
membawa pesan-pesan modern.
Eapen (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif
murah. Ia tidak perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media
ini tidak akan menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi
ideologi asing. Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karena ia
mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal,
yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter,
sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada
surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang
ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima,
relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki
unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang
dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi, 1988)
menambahkan bahwa media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan
simbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi
yang berada di luar jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut
partisipasi aktif dalam proses komunikasi.
7. Keberadaan Media Tradisional
Pada masa silam, media
tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting. Kini penampilannya
dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi,
1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:
1.
Diperkenalkannya
media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan
televisi.
2.
Penggunaan
bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan
dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3.
Semakin
berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada
pengembangan media tradisional ini, dan
4.
Berubahnya
selera generasi muda.
Di Indonesia, situasinya
kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih
hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan
keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi
masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan
media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat
desa mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang
kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah
banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para
seniman yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional
itupun semakin berkurang. Generasi
baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan
pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Surutnya media tradisional ini
dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media
tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara
tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan
dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak
terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media
tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara
dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu, mendorong
negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang dianjurkan.
Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh
media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear
dan satu arah.
Untuk mempercepat laju
pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia ketiga
menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan televisi,
dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake dalam Jahi,
1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika
tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan
menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekurangan ini menjadi kenyataan
tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media besar itu.
Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan dengan situasi
dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam pembuatan
program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber daya
manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang kualitasnya
dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.
Situasi ini mengakibatkan
negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan jalan mengimpor banyak
program berita maupun hiburan dari negara-negara maju. Keluhan yang timbul
kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat
berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya
konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.
Perhatian para peneliti
komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah menyaksikan
kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia ketiga
dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji
kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan
Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai ditelusuri.
UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional secara
terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja bersama
masyarakat. Yang tujuan utamanya tidak hanya bersifat pengembangan sosial dan
ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976).
Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami kerugian besar, jika tidak didukung oleh media tradisional.
8. Peran Media
Tradisional dalam Sistem Komunikasi
Media tradisional mempunyai
nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam
sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam
pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian,
mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari,
memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material,
maupun musik yang ditampilkan.
Kesulitan tersebut berasal
dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang ditampilkan, yang
umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak memadainya latar belakang
kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi yang hidup disuatu daerah,
tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian dari media rakyat
ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan pembangunan. Hal
ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada
khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan
kepada khalayak (warga masyarakat). Ia dapat juga menanamkan dan mengukuhkan
nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial (Budidhisantosa dalam Jahi
1988).
Walaupun demikian, bertolak
belakang dengan keoptimisan ini, para ahli memperingatkan bahwa tidak seluruh
media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan bagi maksud-maksud
pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak selamanya dapat
dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak media itu,
sehingga kita harus waspada. Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni
pertunjukkan tradisional untuk maksud pembangunan, sebenarnya ialah bagaimana
menjaga agar media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan
tradisional ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang
menuntut kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain
pesan-pesan pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo dalam Jahi 1988).
Meskipun banyak kesulitan yang
dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional bagi kepentingan
pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin dilakukan.
Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-pertunjukkan yang
mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog, dan yang tidak
secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan
tradisional yang terdapat di Jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia,
yang dapat dimanfaatkan sebagai media penerangan pembangunan. Pertunjukkan
biasanya menampilkan episode-episode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana
dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera
misalnya bahasa Jawa, Sunda, atau Bali yang diiringi nyanyian dan musik yang
spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih tradisional, wayang lebih daripada
sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang sebagai perwujudan moral, sikap, dan
kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan tersebut selalu menekankan
perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya yang baik setelah mkelalui
perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan mendapat kemenangan. Disamping itu
moralitas wayang mengajarkan juga cara memperoleh pengetahuan, kedamaian
pikiran, dan sikap positif yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu Belanda, Presiden Soekarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju Kemerdekaan.
9. Strategi media
tradisional menghadapi persaingan media modern
Strategi media tradisional
menghadapi persaingan media modern, yaitu :
1.
Tari tradisional dikemas dengan
cara kekinian sehingga menarik minat remaja untuk mempelajarinya.
2.
Mendokumentasikan setiap tari
tradisional, baik secara ingatan maupun melalui media rekam. Dengan dokumentasi
tersebut, dapat menjadi inspirasi bagi para seniman untuk bisa mengangkatnya
menjadi baru atau menghidupkan kembali.
3.
Revitalisasi kesenian tari yang
punah dengan Kemendikbud bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan di masing-masing
daerah.
4.
Pelestarian budaya
dengan melestarikan proses produksi dan konsumsi simbol di dalam masyarakat
melalui pelestarian aspek-aspek pembentuk budaya di dalam masyarakat.
5.
Perlu digalakkan
penulisan cerita-cerita rakyat yang dulu bisa dipentaskan dalam bentuk
Prabuloro atau Damar Wulan dan sekarang sudah hampir punah dalam bentuk novel.
6.
Memperkenalkan
nilai-nilai budaya lokal kepada anak-anak sejak dini.
7. Pimpinan formal maupun informal bersama-sama masyarakat agar mendorong masyarakat untuk melakukan transformasi budaya lokal.
10. Upaya Agar Media Tradisional Diminati Penduduk
Bangsa Indonesia
Untuk
mengatasi pengaruh media modern terhadap media tradisional, khususnya untuk
membentengi kalangan remaja dari pengaruh negatif diperlukan
pelibatan semua pihak terutama pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat seperti,
para ulama, budayawan serta keterlibatan orang tua di rumah.
1.
Peranan Pemerintah
Pemerintah hendaknya dapat
mengambil kebijakan strategis melalui penataan ulang sistem pendidikan terutama
mengenai pengaturan kurikulum. Umumnya di setiap sekolah menerapkan
sistem pengajaran pengetahuan mengenai ilmu keagamaan kepada para remaja
sekolah dengan waktu yang berjalan selama dua jam dalam se-minggu saja. Tentu
saja ini kurang memadai waktunya untuk mengharapkan sebuah perubahan prilaku
siswa sehingga memerlukan penambahan jam pelajaran atau kreatifitas guru bidang
study tersebut dalam bentuk kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah seperti
kegiatan pengajian atau kajian-kajian tematik menurut pandangan agama.
Sebaiknya pemerintah menata ulang sistem pendidikan dan mendorong kreatifitas
guru bidang study. Mengenai pelajaran dan pemahaman keagamaan sesungguhnya
tidak hanya terpaku pada bidang study agama yang dinilai waktunya kurang
memadai tersebut tetap setiap guru mata pelajaran umum juga dapat memasukkan
nilai-nilai agama ketika mengajar di hadapan siswanya.
2. Peranan
Tokoh Agama dan Budaya
Peranan para ulama dan budayawan
melalui program kerja organisasi keaagamaan dan sanggar-sanggar budaya sangat
strategis untuk menangkal masuknya budaya asing dalam masyarakat khususnya
kalangan generasi muda. Keterlibatan para tokoh agama dan budaya
melalui program kerja organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama
(NU), Muhammadiyah dan yang lainnya dapat diarahkan pada pembinaan remaja agar
memiliki ketahanan budaya yang berbasis agama. Begitu juga peranan para
budayawan dan seniman melalui organisasi atau sanggar seni dapat merancang
program kerja yang diminati oleh kalangan remaja sehingga mereka tidak tertarik
dengan budaya hura-hura yang datang dari budaya asing.
Kalau hal ini dapat diperankan
secara maksimal oleh para tokoh agama dan budayawan, maka pola pembinaan
generasi muda dapat diarahkan kepada penanaman nilai-nilai Pancasila dan ajaran
agama yang lebih terarah dan terukur, baik dari kegiatan-kegiatan internal
sekolah seperti pada proses belajar-mengajar maupun di luar sekolah
seperti remaja masjid, kesenian dan budaya. Dengan adanya kebijakan ini remaja
juga dapat berinterksi sosial secara langsung dengan masyarakat sebagai pelaku
sosial.
3. Peranan
orang tua dan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan
anak yang paling banyak waktunya. Orang tua adalah figur utama dalam keluarga
yang paling bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anak dan anggota keluarga
lainnya. Oleh karena itu, lingkungan keluarga sangat berkontribusi terhadap
kualitas prilaku atau akhlak anggota keluarga terutama anak-anaknya. Lingkungan
keluarga dan lingkungan sosial harus tetap beriklim positif dalam artian
orang-orang yang ada dalam sekitar kita harus orang-orang yang “tidak membawa
kita kedalam kesesatan”. Orangtua harus bisa mengambil porsi lebih banyak
diantara porsi yang lainnya.
Peran orang tua sangat amat
dibutuhkan, selain mengawasi anak-anak dan dengan siapa dia bergaul, tetapi
sesekali orang tua harus turun langsung mengawasi anak-anaknya agar jangan
sampai anak-anaknya bisa salah gaul. Pada masyarakat modern, seorang remaja
sangat tergantung pada cara orang tua atau keluarga mendidiknya. Melalu
interaksi dalam keluarga, remaja akan mempelajari pola perilaku, sikap,
keyakinan dan cita-cita dan nilai dalam keluarga dan masyarakat, Berikut adalah
penjelasannya tentang peran orang tua dan keluarga :
v
Orang tua harus PD terhadap
kebudayaan bangsa sendiri
Sekarang ini anak lebih memilih untuk menonton
bioskop yang memutar film-film asing daripada menonton pertunjukan tari
tradisional. Anak juga lebih menyukai lagu-lagu barat yang dianggapnya lebih
keren daripada musik-musik tradisional Indonesia. Hal ini akan membuat budaya asli
Indonesia makin lama makin luntur. Sebaiknya orang tua percaya diri terhadap
budaya bangsa sendiri dan mendidik anak untuk mencintai budaya Indonesia dengan
melibatkan anak dalam pembicaraan mengenai budaya dan mengajaknya nonton
pameran kesenian.
v
Hindarkan anak dari kecanduan
gadget
Kebanyakan orang tua jaman sekarang malah
memberikan anak-anaknya permainan yang dapat diakses melalui kecanggihan
gadget. Padahal hal ini akan membuat anak bersikap individualistis dan
kesulitan berkomunikasi dengan orang lain.
v
Memberi menu makanan tradisional
pada anak
Makanan asli Indonesia seperti sayur pare, melinjo
dan kangkung kini sudah tidak banyak diminati lagi di kalangan remaja dan
anak-anak. Anak cenderung lebih menyukai makan makanan seperti burger atau
pizza yang merupakan makanan khas bangsa lain.
v
Memilih konsumsi media yang tepat
bagi keluarga
Harus membatasi akses terhadap media massa maupun
elektronik yang terlalu menyorot budaya asing. Pilihlah tontonan keluarga yang
sifatnya mendidik dan mengenalkan anak terhadap budaya bangsa.
4. Sekolah
Sebagian besar anak menghabiskan waktunya di
sekolah dimulai dari pagi hari dan terkadang hingga sore karena banyaknya
kegiatan. Nah, sekolah harus menyediakan wadah bagi para siswa agar tertarik
dengan budayanya sendiri.
Para pengajar harus mengajarkan pentingnya
kebudayaan daerah dengan melibatkan setiap siswa ketika mengadakan pertunjukan
kesenian, mengikutkan siswanya untuk perlombaan tentang kesenian daerah, dan
sebagainya.
Pihak sekolah juga harus memperhatikan sarana untuk
mendukung kegiatan-kegiatan tersebut, memperhatikan ekstrakurikuler kesenian
daerah agar tidak dipandang sebelah mata,dan sebagainya.
B. Seni Rakyat
1. Pengertian Seni Rakyat
Seni
berasal dari kata art (latin) yang
berarti kemahiran/keahlian. Menurut Ki hajar dewantara, seni adalah segala
bentuk perbuatan yang timbul dari perasaan dengan sifat indah yang menggerakan
jiwa perasaan. Sedangkan menurut Ahdian, seni merupakan kegiatan rokhani yang
merefleksikan realitas ke dalam suatu karya yang memiliki bentuk dan isi untuk
membangkitkan pengalaman-pengalaman tertentu ke dalam rokhani para penerima.
Adapun
“seni rakyat” adalah bagian dari kebudayaan rakyat (folk culture), yaitu seni yang berkembang di desa-desa, di
luar lingkar istana atau pusat-pusat kesenian yang biasa menopang timbulnya
budaya agung atau budaya adiluhung (high-culture).
Seni rakyat adalah kesenian masyarakat banyak dalam bentuk yang dapat
menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri oleh anggota masyarakat yang
hasilnya merupakan milik bersama. Seni rakyat adalah menurut bahasa Umar Kayam,
seninya komunitas pedesaan yang masih akrab, homogen dan justru berfungsi untuk
mengikat solidaritas komunitas (Kayam, 1981:140).
Seni
rakyat umumnya bersahaja, spontan dan responsif, dan bentuk maupun geraknya
sederhana. Dalam hal seni pertunjukan rakyat iramanya pun dinamik,
berulang-ulang dan cenderung cepat. Tengok saja, misalnya : tabuhan yang
mengiringi pertunjukan jathilan, selalu merupakan ulangan yang berkepanjangan
yang konon justru karena mengikuti repetisi yang terus-menerus itulah yang
menjadikan beberapa di antara pemainnya mengalami trans.
Seni
rakyat biasanya tercipta secara anonim. Kita tidak pernah tahu siapa yang melahirkan
Kuda Lumping yang terdapat di Jawa, Lenong yang merupakan andalan kesenian
rakyat Betawi atau tari Angguk yang sedang terkenal dari Sleman, Kulon
Progo dan sekitarnya. Begitu pun kesenian Bajidoran, Ketuk Tilu, atau
Longser dari Jawa Barat.
Sementara
itu seni rakyat hampir tidak mengalami perkembangan apa-apa, dari waktu ke
waktu bentuknya hampir sama saja, karena pada umumnya sudah menyatu dan serasi
dengan masyarakat pemiliknya. Namun yang terakhir ini justru merupakan watak
seni rakyat. Seni rakyat amat akrab dengan masyarakat pemiliknya. Lebih lanjut
Kuntowijayo (1987:25) menambahkan bahwa seni rakyat bersifat kasar dan tidak
tuntas. Namun, sekali lagi seni rakyat terasa lebih spontan, lebih
kreatif, dan penuh kejujuran. Dalam seni pertunjukan rakyat bahwa sering
terjadi dialog langsung antara pemain dengan publiknya tanpa dipersiapkan lebih
dulu.
Menurut
Fischer (1994:1), seni rakyat merupakan hasil seni
tradisional yang terdiri daripada seni musik, seni tari, seni ukir, seni lakon,
seni bina, seni mempertahankan diri. Kegiatan seni mempamerkan bakat dan nilai
mutu seni yang tinggi.
Dalam
aspek komunikasi, seni rakyat yang lebih setara fungsinya ialah melalui seni
musik, seni lakon dan seni tari. Antara contoh seni musik ialah Hadrah, gamelan,
rebana ubi, seruling, kompang, nafiri dan gong. Seni tari pula merujuk kepada
seni joget, inang, zapin, kuda kepang, asyik. Seni suara atau lagu endoi atau
dendang Siti Fatimah, ulit anak, nazam, marhaban, nasyid.
Seterusnya, kita akan melihat bagaimana seni tari
menjadi alat komunikasi tradisional berbentuk non-verbal. Secara dasarnya, seni
tari adalah gerak indah dan berirama yang mengandungi dua unsur penting
gerak dan irama. Menurut Haukin seorang menyatakan bahwa tari adalah ekspresi
jiwa manusia yang diubah oleh imaginasi dan diberi bentuk melalui media gerak
sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolik dan sebagai ungkapan si pencipta.
Secara tidak langsung di sini Haukins memberikan
penekanan bahawa seni tari merupakan ekspresi jiwa menjadi sesuatu yang
dilahirkan melalui media ungkap yang disamarkan. Menurut seorang
ahli sejarah tarian dan musik Jerman bernama C. Sachs telah memberikan definisi
seni tari sebagai gerakan yang berirama. Seni tari adalah pengucapan jiwa
manusia melalui gerak-geri berirama yang indah. Dalam kebudayaan melayu terdapat
berbagai-bagai jenis tarian, sama ada tarian asli ataupun tarian yang telah
dipengaruhi oleh unsur-unsur moden.
Contoh seni tari yang popular ialah Tarian Kuda
Kepang juga mempunyai cara yang tersendiri dalam memainkan peranan sebagai
pencetus komunikasi. Dikatakan bahawa tarian ini diperkenalkan oleh
pendakwah Islam sebagai cara menarik penduduk setempat agar datang beramai-ramai
menyaksikan persembahan mereka. Pendakwah akan menyampaikan dakwah mereka
sebelum atau selepas persembahan. Para penari menggunakan kuda kepang untuk
menggambarkan kisah kejayaan perjuangan suci Islam, diiringi paluan gendang,
gong dan angklung.
Tarian Kuda kepang amat digemari oleh
penduduk Johor terutamanya dari keturunan Jawa. Kuda kepang
ini biasanya dibuat dari anyaman yang dibentuk seperti seekor kuda tanpa kaki.
Ia diperbuat daripada buluh yang dianyam atau kulit binatang yang diwarnakan
untuk menjadi lebih menarik. Lazimnya terdapat 10 hingga 15 orang penari bagi
setiap kumpulan penari kuda kepang yang biasanya akan mempunyai seorang ketua. Tarian
ini biasanya dipertunjukkan di majlis-majlis keramaian untuk memeriahkan lagi
suasana seperti sewaktu menyambut orang-orang kenamaan, meramaikan majlis perkawinan
dan di hari-hari perayaan.
Seni lakon atau teater tradisional pula boleh dikategorikan kepada persembahan dramatari, wayang kulit, teater bangsawan dan boria. Mengambil contoh wayang kulit, proses perkembangannya wayang kulit telah banyak melalui perubahan. Setelah melalui pelbagai zaman, wayang kulit dapat menyesuaikan dirinya secara bebas dan kreatif. Wayang kulit bermula sebagai alat yang ada kaitannya dengan upacara penyebaran agama, tetapi kemudiannya digunakan sebagai alat pendidikan dan penerangan. Pada kesempatan inilah nilai-nilai pendidikan dan pembangunan keluarga disampaikan. Nilai-nilai pembangunan masyarakat sebenarnya didasarkan pada hakikat bahawa keluarga menjadi agen pembentukan masyarakat. Inilah antara faktor mengapa wayang kulit sehingga kini menjadi salah satu tradisi kesenian negara.
2.
Fungsi Seni Rakyat
Fungsi seni dalam kehidupan masyarakat ada dua
fungsi :
1. Fungsi
seni dalam masyarakat tradisional
Fungsi seni dalam masyarakat
tradisional dalam pemahaman umum, seni sering diartikan hanya
sebagai hiburan. Konotasi inilah yang perlu kita perjelas tidak hanya sebagai
media hiburan. Seni dalam pemahaman yang lebih kompleks dapat merupakan sarana
legitimasi, ketika seni itu berada di dalam istana (kraton). Soedarsono
mengemukakan bahwa fungsi seni pertunjukan ada tiga yaitu :
1.
Pemujaan / ritual
Fungsi seni untuk
pemujaan berlangsung pada masa ketika peradaban manusia masih sangat
terbelakang. Kehidupan kesenian waktu itu belum mengenal adanya instrumen
musik, busana, dan gerak, tata panggung dan lain-lainnya, seperti kesenian pada
masa kini. Kecenderungan seni ritual pada masa lalu lebih menekankan pada misi
dari pada fisik atau bentuk. Tidak mengherankan kalau bentuk seni ritual untuk
pemujaan masih sangat sederhana, baik dari aspek musik iringan, busana (kostum)
serta rias, gerak, maupun penggunaan dekorasi sebagai setting pertunjukan. Pada
saat ini kita masih dapat menjumpai jejak-jejak seni yang berperan sebagai
media ritual atau pemujaan, misalnya tari barong untuk upacara di Bali.
2.
Tuntunan
Fungsi seni sebagai
tuntunan lebih menyentuh pada misi yang secara verbal diungkapkan. Pelaku seni
dalam hal ini lebih dituntut untuk menyampaikan pesan moral yang akan dicapai.
Seorang dalang sebagai contohnya, harus mampu memerankan semua tokoh yang ada
di dalam kotak wayangnya. Dalang juga harus mampu membawakan diri dan memilah
mana tokoh simbol angkara murka dan mana tokoh kebaikan. Dimensi inilah yang
mewarnai tuntunan di balik sebuah tontonan.
3.
Tontonan/hiburan
Fungsi seni sebagai
tontonan atau hiburan tidak banyak membutuhkan persyaratan. Seni untuk hiburan
tidak terikat pada misi tertentu. Seni yang mampu memberikan kesenangan pada
seorang atau kelompok orang yang berada di sekitar pertunjukan.
2. Fungsi
seni dalam masyarakat modern
Fungsi seni dalam masyarakat
modern berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
modern yang sangat beragam dan kompleks. Seni secara jelas dapat dijumpai di
setiap elemen dan situasi kehidupan. Mungkin di masa lalu seni juga sudah
mengusung fungsi berikut ini namun tidak tampil secara jelas. Berikut fungsi
seni dalam masyarakat modern :
1.
Ekspresi/aktualisasi diri
Kecenderungan fungsi pertunjukan untuk
ekspresi atau aktualisasi diri ini merupakan perwujudan dari semboyan seni
untuk seni atau lart pour lart. Tidak
ada orang yang dapat mengganggu gugat ekspresi seni dalam penampilannya.
Kebebasan di sini lebih menekankan pada pencapaian tujuan tertentu yang
diperjuangkan. Contoh seni instalasi, happening art, dan sejenisnya.
2.
Pendidikan
Seni sebagai pendidikan merupakan elemen mendasar
yang perlu dipahami. Hal ini karena esensi seni sebenarnya tidak dapat lepas
dari muatan edukatif. Dengan kata lain apa yang dituangkan ke dalam berbagai
cabang seni merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan untuk membentuk budi
pekerti seseorang.
3.
Industri
Fungsi seni sebagai
industri lebih mengarah pada tujuan atau kepentingan tertentu untuk mendukung
satu produk tertentu. Seni untuk industri adalah sesuatu yang mampu memberi
daya tarik pada produk yang ditawarkan. Misalnya sebuah lagu dibuat untuk
kepentingan iklan produk susu. Atau ketika seorang penata tari membuat
koreografi untuk menggambarkan sesuatu yang terkait dengan keperkasaan
seseorang lewat iklan rokok.
4.
Seni terapi
Fungsi seni untuk
terapi digunakan secara khusus memberi ketenangan batin seseorang yang sedang
menderita secara psikis. Masalah kejiwaan yang sering dihadapi manusia
membutuhkan media untuk menyelesaikan. Salah satu cara tersebut dapat ditempuh
dengan beraktivitas di dunia seni. Dengan berolah seni seseorang yang memiliki
permasalahan atau tekanan jiwanya, akan terobati. Dengan demikian orang belajar
seni untuk terapi sebagai media untuk memberi siraman estetis melalui kegiatan
seni yang ia gemari.
5.
Komersial / instant
Seni untuk kategori sebagai alat mendatangkan keuntungan (entertaiment) ini bisa dibuat keperluan dan keinginansi penggarap. Apa pun dan wujud kesenian itu asal mampu memenuhi keinginan pembeli tidak masalah, walaupun kadang-kadang harus menyimpang pada norma estetis yang berlaku. Seni untuk fungsi ini terjadi karena permintaan yang makin banyak. Dunia pariwisata membuka peluang untuk pengemasan jenis-jenis pertunjukan kemasan.
3. Fungsi Seni dalam Kehidupan
Manusia
Menurut Chapman fungsi dari seni dibagi menjadi
enam bagian, yaitu:
1.
Fungsi Pribadi (Individual)
Pengertian
fungsi seni dalam individu adalah konsep penciptaan seni yang lebih menekankan
pada proses emosional dari sang seniman. Disini peran seniman sebagai kreator
dalam menciptakan sebuah karya seni, semua ide, imajinasi, pemikiran dituangkan
sehingga menghasilkan sebuah karya seni. Bagi seorang seniman karya seni itu
mencitrakan pemikiran dan karakter psikologis dari si penciptanya. Oleh sebab
itu ketika seseorang apresiator mengamati sebuah karya seni, disitu dapat
dibaca karakter dari si seniman. Bagi seniman juga akan tecapai kepuasan jiwa
atau diri, ketika semua konsep pemikirannya telah tertuang dalam karya. Perlu
ditekankan disini fungsi individu dari seni itu dapat tercapai dengan sempurna,
jika seniman itu berkarya dengan jujur, berkarya dengan hati.
2.
Fungsi Masyarakat (social)
Setiap
karya seni yang diciptakan seniman, pada umumnya akan disajikan kepada
masyarakat atau audiens. Ketika karya seni itu hadir di dalam masyarakat, maka
disitulah terjadi interaksi antara audiens dan karya seni tersebut. Distu karya
seni di nikmati, diamati, diapresiasi, sehingga timbullah proses komunikasi.
Dalam mengamati sebuah karya seni rupa, apresiator dapat dengan bebas menilai,
mencari, dan menggali makna visual dari sebuah karya seni rupa. Fungsi seni
dalam masyarakat dibagi menjadi dua bagian yaitu fungsi rekreasi dan fungsi
komunikasi. Fungsi seni di masyarakat yang berhubungan dengan rekreasi atau
wisata, apabila karya seni itu dikonsep atau diprogram untuk menarik wisatawan.
Dalam hal ini para apresiator dapat menikmati sebuah karya seni secara langsung
dan tidak lansung. Pengamatan secara langsung ini dapat kita jumpai misalkan
pada pameran seni lukisan, pameran patung dan seni publik. Sedangkan apresiasi
karya seni yang tidak langsung, mempunyai pengertian apabila karya seni
tersebut tidak dijadikan konsep utama. Artinya sebuah karya seni tersebut hanya
sebagai pelengkap dalam suatu acara atau bangunan. Ini dapat dijumpai misalkan
lukisan yang terpajang di restaurant, hotel, dan perkantoran.
Sedangkan
fungsi seni dalam pengertian komunikasi adalah dimana sebuah karya seni itu
mempunyai pesan visual yang akan disampikan kepada masyarakat. Dalam konteks
ini karya seni menjadi mediator antara sang produsen dengan audiens. Karya
seni rupa dapat dikatakan berhasil menyampaikan pesan, apabila makna dari
sebuah karya tersebut dapat dicerna dan dipahami oleh audiens atau apresiator.
Kecenderungan karya seni rupa yang mempunyai muatan pesan,dapat dijumpai pada
karya seni Reklame. Dengan adanya karya-karya reklame seperti poster, spanduk,
neonbox, banner dan pamphlet, sebagai karya seni terapan yang penggunaannya
lebih kepada fungsi komunikasi. Perlu dijelaskan lebih dalam mengenai
jenis karya seni diatas, mungkin kurang mempunyai nilai artistik dan lebih
mementingkan nilai yang sederhana dan sedikit kerumitan. Tetapi bukan berarti
karya tersebut bukan karya seni, semua itu masuk dalam kategorisasi karya seni
rupa, jika memiliki nilai estetika yang tinggi. Sebaliknya jika karya seni
tersebut , tidak mempunyai nilai estetika yang tinggi, maka karya seni tersebut
bisa di kategorikan sebagai jenis Low
Art, Pastiche, atau Kisch.
3.
Fungsi fisik
Pengertian
fungsi seni secara fisik ini erat hubungannya dengan seni pakai atau
nilai guna. Karya seni memang dalam kehidupan sehari-hari mempunyai fungsi
sebagai sarana penunjang kehidupan. Kekurangan dari karya seni yang
berorientasi pada fungsi fisik yaitu terabaikannya nilai estetika dari karya
tersebut. Hal ini memang sudah terkonsep dari kreator atau seniman. Pembuatan
karya seni tersebut hanya menekankan pada fungsi fisik, enak dipakai, nyaman
digunakan dan efesien. Sehingga terdapat kecenderungan karya seni seperti ini
mempunyai nilai artistik yang rendah. Karya seni ini dapat kita jumpai di seni
kerajinan, seperti kursi, mebel, keramik, perabot, asesoris dan fashion.
4.
Fungsi Keagamaan (Religious)
Seni rupa
atau seni lainnya memang ikut andil dalam ranah agama atau religious.
Kemunculan seni rupa sejak zaman pra sejarah sampai modern, secara subtansial
terdapat fungsi dalam suatu kepercayaan. Karya-karya seni yang erat hubungannya
dengan fungsi religious ini dapat ditelusuri mungkin sejak zaman Renaisans. Di
Italia pada abad 15, abad dimana pergolakan pemikiran dan kreativitas
dieksplorasi munuju pencerahan. Seniman Renaisans pada waktu itu berkarya untuk
kepentingan gereja, dengan dukungan dari penguasa atau bangsawan. Peran seniman
pada zaman itu sangat berpengaruh dalam menciptakan karya seni yang religious
sebagai penunjang peradaban Renaisans. Seniman-seniman terkenal seperti Philipo
Brunelesci, Leonardo da Vinci, Michaelangelo, Andrea Mantegna,dan Rphael,
melukis dan membuat patung untuk kepentingan gereja. Karya-karya mereka
menghiasi gereja-gereja sebagai representasi terhadap tuhan Yesus.
Begitu
juga yang terjadi di belahan dunia timur atau dunia Arab. Di wilayah timur yang
sebagian besar menganut ajaran Islam, memang tidak begitu dominan memunculkan
seniman, walaupun itu ada tapi mungkin tidak terekspos. Karya seni yang
bernuansa islami ini, dapat dijumpai pada masjid-msjid berupa kaligrafi Arab.
Seni kaligrafi memang identik dengan dunia arab, tetapi bila dipahami lebih
dalam pengertian kaligrafi adalah seni tulis menulis atau menulis indah. Oleh
sebab itu kaligrafi dapat di jumpai di berbagai perdaban manusia, bukan hanya
di peradaban Islam. Tetapi mungkin dalam perkembangannya kaligrafi Islam lebih
dominan, karena faktor banyaknya penganut agama tersebut.
5.
Fungsi Pendidikan (Education)
Fungsi
seni dalam dunia pendidikan memang berperan dalam menunjang lancarnya proses
belajar mengajar. Dalam konteks ini karya seni sebagai mediator penyampaian
pesan dalam proses belajar. Berbagai metode dalam proses belajar mengajar dari
mulai metode verbal maupun non verbal. Seni visual atau seni rupa dapat pula
diterapkan dalam pendidikan. Ketika pesan verbal itu perlu sarana pendukung
dalam bentuk visual, maka dapat dihadirkan dalam bentuk gambar, lukisan,
ilustrasi, ataupun poster. Seni visual mungkin lebih efektif dalam penyampaian
gagasan, ide atau cerita, dengan ditunjang olah verbal. Dengan demikian jelaslah
seni dapat sebagai penunjang dalam dunia pendidikan.
6.
Fungsi Ekonomi (Economic)
Ketika
seniman menciptakan sebuah karya seni, tentunya mempunyai tujuan yang akan
dicapainya. Tujuan dari diciptakannya karya seni adalah pencapaian nilai
artistik, hadirnya makna. Tetapi disamping itu mempunyai tujuan atau fungsi
yang lain yaitu fungsi ekonomi. Dapat dikatakan “seniman juga butuh makan,
butuh tempat tinggal”. Karya seni yang hadir dengan tujuan komersil, perlu
dipertanyakan nilai estetikanya. Jangan sampai hanya karena tujuan komersil,
nilai artistik diabaikan. Tentunya fenomena ini dapat dijumpai di kehidupan
sehari-hari. Pertimbangan dari karya seni yang berorientasi pada nilai
ekomomi adalah untung rugi. Ketika seniman membuat karya dengan jenis media dan
ukuran yang berbeda, tentunya nilai komersil dari sebuah karya seni itu akan
berbeda.
Karya-karya seni yang tujuan utamanya adalah nilai ekonomis, umumnya adalah seni terapan seperti arsitektur, reklame, kriya atau kerajinan dan grafis poster. Tetapi bukan berarti seni murni tidak komersil, seni murni seperti lukisan, patung dan grafis juga bersifat komersil. Tetapi konteks dalam seni murni memang lebih menekankan pada nilai artistiknya. Sehingga secara tidak langsung timbul nilai komersil dari karya tersebut. Dalam dunia seni rupa tidak sedikit dijumpai seniman-seniman kaya. Secara mendasar sifat seni disamping mempunyai nilai estetika juga nilai komersil. Nilai komersil dari seni murni adalah imbas atau efek yang ditimbulkan. Bahkan bila ditinjau lebih dalam nilai jual seni murni seperti lukisan, patung, kadang tidak sebanding dengan media yang di gunakan. Misalkan sebuah lukisan bisa berharga 20 juta sampai 1 milyar atau bahkan lebih. Itulah penghargaan pada sebuah nilai estetika dari karya seni rupa.
4. Kesenian Rakyat Indonesia di Era
Globalisasi
Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau
keberadaan kesenian rakyat berada pada titik yang rendah dan mengalami berbagai
tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun dari dalam.
Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari
pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian
yang lebih modern. Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai
keleluasan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara
alamiah maupun teknologi, sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap
masyarakat. Selain itu, aparat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan
atau memprioritaskan segi keuntungan ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya,
sehingga kesenian rakyat semakin tertekan lagi.
Segi komersialisasi yang dilakukan oleh aparat
pemerintah ini tentu saja didasarkan atas pemikiran yang pragmatis dan
cenderung mengikuti perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan yang
ada. Dengan demikian, pengaruh ini jelas mempunyai dampak yang besar
terhadap perkembangan dan kreativitas kesenian rakyat itu sendiri. Di pihak
lain, adanya masyarakat yang masih setia kepada tradisinya perlahan-lahan
mengikuti perkembangan pembangunan.
Kebanyakan hal tersebut (kesenian tradisional) ini
tidak dapat bangun lagi karena kerasnya daya saing dengan kesenian-kesenian
yang sangat modern. Sementara itu pemerintah hampir tidak peduli lagi
dengan keadaan kesenian tradisional di daerah. Hal ini, bisa saja
disebabkan oleh adanya asumsi-asumsi yang dikaitkan dengan
konsep-konsep dasar pembangunan di bidang kesenian yang penekanannya dan
intinya melestarikan dan mengembangkan kesenian yang bertaraf dengan
kecenderungan universal. Sehingga, kesenian-kesenian yang ada sekarang
ini dapat dianggap tidak sesuai dengan objek-objek dan tujuan dari
pembangunan yang sedang dijalankannya ini. Dengan kata lain, bahwa
keaslian dari suatu kesenian dipandang belum dapat dibanggakan sebagai bukti
keberhasilan suatu pembangunan di daerahnya.
Kekayaan kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia sangat memadai untuk dikembangkan ke dunia Internasional. Sebagai salah satu contoh, misalnya tari Piring dari Sumatra Barat. Tari Piring ini sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lebih modern lagi melalui kolaborasi. Untuk menuju kepada tindakan ini harus ada upaya atau perbaikan–perbaikan yang perlu diperhatikan agar kemasan kesenian tradisional bangsa Indonesia dapat diterima dan berkembang secara global, walaupun tetap mengacu pada kekuatan nilai-nilai asli/lokal.
5. Fungsi Seni Rakyat dalam
mengendalikan emosi
Mengapa manusia bisa marah, sedih, gembira, haru,
iba, cinta dan benci? Manusia dapat merasakan semua itu karena dalam dirinya
terkandung dorongan emosional. Dan situasi emosi akan muncul bila ada
rangsangan dari luar, rangsangan tersebut akan membentuk suatu asosiasi dan
tanggapan. Dari tanggapan inilah lalu timbul refleksi yang berupa perasaan
marah, benci, sedih, kasihan, haru dan sebagainya.
Pengalaman-pengalaman individual yang terus terjadi
setiap saat bisa diungkapkan lewat bahasa seni. Masalah cinta, perkawinan,
kelahiran dan kematian atau rasa suka cita bisa menjadi pengalaman individu
yang direkam dalam karya seni. Karena itu biasanya digunakan sebagai ekspresi
diri dalam berkarya, apalagi pada seni modern yang tidak lagi kolektif
sifatnya.
C. Opinion Leader
1. Pengertian opinion
leader
Opinion leader (pemimpin opini) adalah orang yang mempunyai keunggulan dari
masyarakat kebanyakan. Opinion leader lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan
lebih tahu memelihara norma yang ada. Kemampuan dirinya memelihara norma
menjadi salah satu konsekuensi logis bentuk pelayanan atau suri teladan yang
diberikan atau ditunjukkan kepada masyarakatnya. Menurut Homanas, ”Seseorang yang memiliki status sosial tinggi
(pemimpin pendapat) akan senantiasa memelihara nilai-nilai serta norma
kelompoknya sebagai syarat minimal dalam mempertahankan statusnya.”
Opinion leader juga dapat
didefinisikan Opini Public atas suatu
isu berakar dari self-interest atau pada event, tetapi pada dasarnya memerlukan
katalisator yaitu diskusi publik. Hanya dengan cara itu opini jadi mengkristal dan dapat diukur. Peran
sebagai katalisator bagi pembentukan opini public adalah orang yang mengetahui
dan mampu mengartikulasi isu secara spesifik. Orang itu disebut Opinion Leader (Pemuka Pendapat).
Opinion Leader menjadi sumber informasi dan pendapat. Ia juga cakap memengaruhi
orang lain secara informal.
Opinion
leader merupakan sumber informasi atau opini, sedangkan followers sebagai penerima-penerima informasi atau opini (receivers). (Wiryanto, 2000:66). Para pemuka pendapat selain
mempunyai kharisma dan mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh
masyarakat yang kebanyakan, hal ini yang membuatnya lekat dapat menjadi
pembentuk opini yang ada dalam masyarakat. Bahwa tidak semua masyarakat dapat
berperan menjadi seorang opinion leader dikarenakan tidak mudah pada
kenyataannya menjadi panutan dan contoh bagi semua pihak yang ada di dalam
wilayah masyarakat desa.
Jadi, Opinion
leaders dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yakni
orang-orang tertentu yang mampu memengaruhi sikap orang lain secara informal
dalam suatu sistem sosial. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat
menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka)
berperan sebagai model dimana perilakunya (baik mendukung atau menentang)
diikuti oleh para pengikutnya.
Ada dua
pengelompokan opinion leader : Opinion Leader Aktif (Opinion Giving) Disini para opinion leader
mencari penerima informasi atau followers secara aktif untuk mengumumkan atau
mensosialisasikan suatu informasi. Opinion Leader Pasif (Opinion Seeking) Dalam hal ini followers, atau si pencari informasi
lebih aktif mencari sumber informasinya kepada opinion leader, sehubungan
dengan permasalahan yang dihadapi.
Nurudin
(2004) mengemukakan beberapa ciri Opinion Leader beserta proses
komunikasi yang dijalankannya sebaga berikut:
a.
Komunikasi
interpersonal mempunyai struktur jaringan yang lebih (umpamanya kerabat,
keluarga besar, suku, dan sebagainya) yang sangat kuat, karena ikatan yang
telah lama ada, kebiasaan-kebiasaan setempat yang telah lama tertanam, dan
setiap struktur ini mempunyai pemimpin-pemimpin pendapat.
b.
Komunikasi
dalam masyarakat Indonesia ditandai oleh ciri-ciri sistem komunikasi feodal.
Ada garis hierarki yang ketat sebagai bawaan dari sistem sosial tradisional,
pemuka pendapat sudah tentu dan mempunyai pengaruh yang jelas sementara arus
komunikasi cenderung berjalan satu arah.
c.
Pemimpin
pendapat dianggap telah dikenali dan dapat diketahui dengan mudah dari fungsi
mereka masing-masing dalam pranata-pranata informal yang telah berakar dalam
masyarakat seperti alim ulama, pemuka adat, guru swasta, atau pendidikan
informal, dukun, dan sebagainya.
d.
Sejalan
dengan itu jaringan komunikasi yang ada dalam masyarakat juga dengan sendirinya
dianggap telah dikenali pula, yaitu jaringan yang berkaitan dengan
masing-masing jenis pranata atau pemimpin pendapat tersebut, seperti jaringan
atau jalur komunikasi keagamaan, adat, pendidikan formal, kesehatan
tradisional, dan lain-lain sebagainya.
e.
Pemimpin
pendapat tidak hanya mereka yang memegang fungsi dalam pranata informal
masyarakat tetapi juga pemimpin formal, termasuk yang menempati kedudukan
karena ditunjuk dari luar (pamong praja, dokter, penyuluh pertanian, dan
sebagainya).
f.
Pemimpin
pendapat di Indonesia dianggap bersifat polimorfik, yaitu serba tahu atau
tempat menanyakan segala hal. Adanya asumsi ini terlihat dari kecenderungan
untuk menyalurkan segala macam informasi (politik, pertanian, keluarga
berencana, wabah, dan sebagainya) kepada para pemimpin pendapat yang sama.
g.
Pemimpin
pendapat pasti akan meneruskan informasi yang diterimanya kepada pengikutnya,
meskipun dengan perubahan-perubahan. Terkandung pula dalam hal ini adalah bahwa
pemimpin pendapat cukup dengan jaringan pengikutnya.
Cara Mengetahui Opinion
Leader. Menurut Everett M. Rogers ada tiga cara mengukur dan mengetahui adanya
opinion leader yaitu :
1.
Metode
Sosiometrik, dalam metode
ini, masyarakat ditanya kepada siapa mereka meminta nasihat atau mencari
informasi mengenai masalah kemasyarakatan yang dihadapinya. Misalnya masalah
megenai penanganan gizi buruk, kepada masyarakat diajukan pertanyaan: “dari
mana anda memperoleh informasi tentang penanganan gizi buruk?” jadi orang yang
paling banyak mengetahui dan dimintai nasihat tentang masalah tersebut, dialah
yang disebut sebagai opinion leader.
2.
Informasi
Ratting, metode ini mengajukan pertanyaan
tertentu kepada orang/responden yang dianggap sebagai key informants dalam
masyarakat mengenai siapa yang dianggap masyarakat sebagai pemimpin mereka.
Jadi dalam hal ini responden tersebut haruslah jeli dalam memilih siapa yang benar-benar
harus memimpin dalam masyarakat tersebut. Dari segi kepribadian, pendidikan,
serta tindakan yang dilakukannya terhadap masyarakat tersebut.
3.
Self Designing
Method, metode ini mengajukan
pertanyaan kepada responden dan meminta tendensi orang lain untuk menunjuk
siapa yang mempunyai pengaruh. Misalnya, apakah seseorang yang memerlukan suatu
informasi perlu meminta keterangan kepada ibu/bapak. Jika jawabannya tidak maka
hal tersebut belum menunjukkan siapa yang sering dimintai keterangan. Hal ini
sangat bergantung kepada ketepatan (akurasi) responden untuk mengindentifikasi
dirinya sebagai pemimpin.
Karakteristik opinion leader adalah :
1.
Berpendidikan
formal lebih tinggi dibanding dengan anggota masyarakat lainnya
2.
Status
sosial ekonominya (SSE) lebih tinggi dari masyarakat sekitar
3.
Lebih inovatif dalam menerima dan mengambil/mengadopsi ide baru
4.
Lebih tinggi
pengenalan medianya (media exposure)
5.
Memiliki
empati yang lebih besar
6.
Partisipasinya
lebih besar, biasanya dalam kegiatan sosial
7.
Lebih kosmopolit (mempunyai
pengetahuan dan wawasan yang luas)
Opinion leader adalah seorang yang memiliki kelebihan atau keunggulan dari masyarakat pada umumnya, dan oleh sebab itu seorang pemuka pendapat (opinion leader) memiliki kelebihan karakter tersendiri di bandingkan orang kebanyakan.
2. Model arus komunikasi
Didalam
pembahasan ini ada empat model arus aliran pesan, yaitu model jarum injeksi (hypodemic needle model), Model aliran
satu tahap (one stop flow model),
model aliran dua arah tahap (two step
flow model), dan model aliran banyak tahap (multy step flow model). Yang masing-masing model tersebut memliki
kelebihan dan kekurangan dalam teori serta penyampaiannya.
a)
Model Jarum Injeksi, secara
substansial, model ini adalah one step flow, artinya arus komunikasi
disampaikan secara satu arah saja (dari media massa kepada audience). Dasar
pemikiran model ini adalah bahwa khalayak bersikap pasif terhadap berbagai
macam informasi yang disebarkan/disiarkan media massa. Sebaliknya media lebih
aktif untuk mempengaruhi audience. Maka teori ini disebut teori peluru (bullet theory). Jadi jika sebutir peluru
tembakkan, ia akan selalu menemukan sasaran, dan sasaran yang dimaksud tersebut
adalah khalayak.
b)
Model Aliran Satu Tahap, pesan
model aliran satu tahap ini, media massa langsung berhubungan dengan
audiencenya. Dengan kata lain, pesan yang disampaiakan mengalir tanpa ada
perantara (audience bisa langsung mengaskes langsung media). Adapun perbedaan
diantara keduanya adalah:
1.
Model aliran satu tahap mengakui
bahwa media massa bukanlah all powerfull dan tidak semua media mempunyai kekuatan
yang sama. Dan model jarum hypodermik menyakini bahwa media itu all powerfull,
ibarat peluru yang ditembakkan.
2.
Aspek-aspek seleksi screening di
pihak audience mempunyai impac pesan. Dengan kata lain, pesan yang diterima
sangat tergantung pada sistem seleksi yang ada pada masing-masing audience.
3.
Model aliran satu tahap
mempengaruhi kemungkinan timbulnya reaksi atau efek yang berbeda dikalangan
audience terhadap pesan-pesan dari media yang sama. Artinya pesan media yang
sama diterima beberapa audience belum tentu menimbulkan reaksi yang sama,
begitu pula dengan efek yang ditimbulkan. Tetapi dalam model jarum hipodemik,
bahwa pesan yang disampaikan media massa akan menimbulkan reaksi dan efek yang
sama.
c)
Model Aliran Dua Tahap, dalam
model ini pesan-pesan dari media massa tidak seluruhnya langsung mengenai
audience, tetapi pesan tersebut disampaikan oleh pihak tertentu artinya pihak
tertentu tersebut dikenal dengan opinion leader (pemimpin opini/pemuka
pendapat). Ada dua tahap penyampaian pesan dalam aliran ini. Pertama pesan
media pada opinion leader dan kedua pesan opinion leader pada audience.
d) Model Aliran Banyak Tahap, pada prinsipnya model ini adalah gabungan dari semua model yang sudah disebutkan diatas. Model ini menyatakan bahwa pesan-pesan media massa menyebar kepada audience atau khalayak melalui interaksi yang kompleks.
3.
Peran Opinion leader dalam
Setiap Sistem Komunikasi
Komunikasi yang terbagi menjadi empat level jika diamati akan melibatkan peran Opinion leader. Pada level interpersonal, sekalipun sangat terbatas pasti tetap ada peran Opinion leader. Begitu juga dalam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Pada komunikasi massa, Opinion leader secara langsung akan diduduki oleh pelaku komunikasi oganisasi, demikian juga komunikasi organisasi memiliki Opinion leader dari level-level dibawahnya. Hal yang mendasar yaitu bahwa Opinion leader memiliki posisi yang cukup kuat untuk mempengaruhi khalayak. Kekuatan itu dapat berasal dari faktor budaya, agama atau pengalaman.
4.
Sejarah Opinion leader
Intelektual
Amerika begitu ketakutan ketika model jarum hipodermik telah mencapai sasaran
secara jelas dengan implikasi munculnya Perang Dunia I yang dihembuskan oleh
Adolf Hitler. Model itu dianggap sebagai cara ampuh membangkitkan “kemarahan”
massa. Begitu kuat peran media dalam mempengaruhi massa. Untuk itu, Paul
Lazzarfeld mengkaji kembali kapasitas media massa dalam membawakan
perubahan-perubahan. Penelitian di Ery Country, Ohio, Amerika Serikat tentang
“perilaku pemilih” dalam memilih presiden 1940 menunjukkan hasil yang sangat
kontras. Ditemukan fakta bahwa media mempunyai peran sangat kecil dam terbatas
dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Hasil ini mematahkan model jarum
hepidermik yang selama ini diakui keampuhannya.
Riset menunjukan hampir tidak ada pemungutan suara yang secara langsung dipengaruhi oleh media. Ide-ide mengalir dari radio dan barang cetakan lain kepada Opinion leader dan baru diteruskan ke audience. Disini menunjukan betapa besarnya pengaruh Opinion leader mempengaruhi masyarakat pemilih. Dari sini pula berkembang teori tentang peranan Opinion leader dalam masyrakat. Sebelumnya kata Opinion leader disebut dengan istilah influentials, influencers atau tastemakers. Kata Opinion leader kemudian lebih lekat dengan masyarakat pedesaan karena tingkat media exposure-nya yang masih rendah dan tingkat pendidikan yang masih standar. Akses media lebih dimungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman tinggi dan kebutuhan akan media tidak rendah. Secara tidak langsung menjadi perantara berbagai informasi yang diterimanya dan diteruskan kepada masyarakat. Opinion leader sering terkena media exposure di masyarakat desa dan mereka sangat dipercaya untuk menjadi panutan bagi masyarakatnya.
5. Monomorfik
dan Poliomorfik Opinion leader
Merton membagi pemuka pendapat atau opinon leader
menjadi dua berdasarkan penguasaan materinya, yaitu:
1)
Monomorfik, yaitu
jika Opinion leader hanya menguasai satu permasalahan saja, pemimpin
seperti ini hanya mampu mengatasi satu permasalahan yang ada di masyarakat.
2)
Polimorfik, yaitu
jika Opinion leader menguasai lebih dari satu permasalahan, pemimpin
yang mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.
Opinion
leader yang ada di pedesaan sangat sulit dijumpai
seseorang yang hanya menguasai satu permasalahan saja, jadi kepemimpinan ini
polimorfik. Ini sangat dimungkinkan terjadi karena di desa jarang ada
diferensiasi atas jabatan dan pekerjaan.
6. Opinion
leader dalam Sistem Komunikasi
Opinion leader
merupakan salah satu unsur yang sangat mempengaruhi arus komunikasi, khususnya
di pedesaan. Berbagai perubahan dan kemajuan masyarakat sangat ditentukan oleh
peran opinion leader. Ketidakmampuan dalam mempengaruhi opinion
leader pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap program yang sedang
dijalankan. Meskipun diakui tetua kampung atau opinion leader bukanlah
manusia yang serba super dan tahu segalanya, tetapi kelebihannya adalah bahwa
mereka dianggap orang yang lebih peka dan in group serta tahu adat kebiasaan
masyarakat. Mereka mempunyai jiwa sosial yang tinggi yang setiap saat membantu
perubahan sosial di lingkungannya.
Opinion leader juga lebih mempunyai gradasi hemofili yang lebih baik dengan pihak lain. Homofili adalah suatu tingkat dimana pasangan individu yang berinteraksi sepadan dalam hal tertentu, seperti kepercayaan, nilai-nilai, pendidikan atau status sosial. Jika homofili dalam sistem sosial itu tinggi, maka komunikasi akan mudah dilaksanakan. Di desa, warga masyarakat akan lebih cenderung berkomunikasi dengan mereka yang berasal dari tingkat kesenjangan pendidikannya tidak terlalu tinggi. Seperti halnya yang diakui Everett M. Rogers dan Shoemaker bahwa orang-orang yang paling tinggi status sosialnya (termasuk masalah pendidikan) dalam sistem sosial jarang sekali berinteraksi langsung dengan orang-orang yang paling rendah status sosialnya. Hasil penelitian Van de Ban di Belanda menemukan fakta bahwa apa yang dilakukan oleh opinion leader cenderung diikuti masyarakat. Opinion leader jelas sangat berpengaruh pada proses komunikasi disebabkan ciri, perilaku, dan kebiasaan yang melekat pada dirinya. Tentunya arus informasi masyarakat desa jelas sangat tergantung pada peran opinion leader tersebut.
7. Opinion
leader di Indonesia
Model-model
arus informasi yang lebih mendekati untuk membahas opinion leader ini
adalah model two steps flow. Media massa tidak langsung mengenai audience
tetapi melalui pemimpin opininya dan kemudian pemimpin itu meneruskan informasi
tersebut kepada pengikutnya. Seiring jalannya waktu, peran opinion leader
semakin pudar dengan tingkat perkembangan media massa yang kian pesat dang
tingkat “melek huruf” masyarakat meningkat. Opinion leader memang masih
mempunyai pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi sikap dan perilaku
pengikutnya, namun pengikutnya sering menentukan sikap dan perilakunya sendiri.
Media massa tidak lagi menjadi monopoli opinion leader saja, tapi masyarakat mempunyai kesempatan untuk menikmati media massa. Terpaan langsung yang diterima inilah yang nantinya akan ikut menentukan perilaku mereka. Model multitahap dalam perkembangannya bisa dijadikan model untuk menganalisis opinion leader. Tapi bagi yang tingkat “melek huruf” belum memadai model two steps flow masih relevan, namun bisa tidak relevan karena kadang pemimpin opini yang berada jauh di pelosok desa sama-sama tidak bisa mengakses media massa. Opinion leader adalah seseorang yang relatif dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain untuk bertindak dalam cara tertentu secara informal. Mereka mempunyai pengaruh dalam proses penyebaran inovasi, bisa mempercepat diterimanya inovasi dan menghambat tersebarnya inovasi ke dalam sistem masyarakat.
8. Opinion
leader Dalam Kehidupan Politik
Dalam
kehidupan politik, opinion leader adalah mereka yang mempunyai otoritas
tinggi dan menentukan sikap dan perilaku pengikutnya. Hal ini disebabkan karena
kewibawaan, ketundukan, kharisma dan mitos yang melekat padanya atau karena
pengetahuan serta pengalaman yang melekat padanya. Contoh opinion leader
dalam politik misalnya, Megawati (Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan) dan Gus Dur (Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa).
Dikarenakan
kedua orang itu bisa menentukan sikap dan perilaku pengikutnya pada gambar atau
tokoh siapa aspirasi politik warga masing-masing harus menentukan pilihannya.
Megawati bisa “memaksa” pengikutnya untuk memilih PDI-P apapun yang terjadi
pada partai itu, dan Gus Dur bisa “menentukan” pengikutnya untuk terus
mendukung dirinya di PKB. Berikut beberapa alasan yang mendorong mengapa
Megawati dan Gus Dur dianggap opinion leader dalam politik :
1.
Mereka menjadi panutan
pengikutnya dengan ketundukan irrasional. Artinya apa yang dilakukan kedua
pemimpin itu, baik atau buruk, cenderung diikuti pengikutnya karena didasarkan
pada kepemimpinan kharismatik.
2.
Mereka ikut menentukan apa yang
harus dilakukan para pengikutnya. Jika mereka bilang massa harus bergerak ke
kiri, mereka akan begerak ke kiri. Jika mereka bilang tidak, maka pengikutnya
pun akan bilang tidak pula.
3.
Mereka mengukuhkan bahwa media
massa punya pengaruh yang sangat kecil di dalam mempengaruhi sikap dan perilaku
masyarakatnya karena peran opinion leader mereka. Walaupun terpaan media
terus menerus dengan menolak ide mereka, tetapi pengikut mereka lebih memilih
mematuhi segala kehendak pemimpinnya dengan mencari informasi pembenaran untuk
mendukung dan mematuhi pendapat opinion leadernya.
Hubungan
antara opinion leader dalam politik dengan masyarakat Indonesia adalah:
1.
Opinion leader sangat
berpengaruh di dalam mempengaruhi proses kebijakan politik di Indonesia.
Misalnya beberapa kiai di desa-desa sangat menentukan tanda gambar apa yang
dipilih oleh warga desa di daerah tersebut. Hal ini terjadi karena kiai memilih
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bukan mustahil pengikutnya juga akan
memilih partai itu. Apalagi jika sang kiai selalu memakai ayat-ayat suci untuk
melegitimasi pilihannya.
2.
Opinion leader ini juga
bisa menolak kebijakan pemerintah. Di era Orba, pemerintah gencar untuk
kampanye Golkar yang merupakan satu-satunya partai penguasa yang disponsori
pemerintah. Dengan memakai sistem floating mass nyaris setiap daerah
diharuskan memilih Golkar. Misalnya peran K.H Alawy Muhammad di Madura yang
mendukung PPP, perilaku kiai ini jelas menolak kebijakan pemerintah yang
memaksa masyarakat untuk memilih Golkar.
3.
Opinion leader tidak
boleh dipandang sebelah mata agar berbagai keinginan pemerintah bisa berhasil. Keberhasilan
pemerintah tidak lain atas dukungan Opinion leader juga, karena kunci
utama keberhasilan program pemerintah terutama di desa-desa terletak juga di
pundak opinion leader tadi.
9. Opinion
Leader Dalam Kehidupan Sosial
Peran opinion leader dalam kehidupan sosial
dapat tercermin dalam suskes tidaknya program Keluarga Berencana (KB) yang
dikampanyekan pemerintah tahun 70-an. Kesuksesan program ini tidak lepas dari
peranan opinion leader yang mendukung. Misalnya sebuah kantor Kepala
Desa di Bantul, Yogyakarta secara terang-terangan ditulis bahwa para kiai dan
tokoh masyarakat lain mendukung dan menghalalkan gerakan program KB
pemerintah. Ini bisa dilihat dari penurunan angka kelahiran rata-rata penduduk
di Indonesia. Periode 1961-1971 pertumbuhan penduduk sebesar 2,1%, periode
1971-1980 sebesar 2,32% dan periode 1980-1990 menjadi 1,98% (Masri Singarimbun,
1996:3). Meskipun Masri Singarimbun tidak menyebutkan secara eksplisit apa yang
mempengaruhi penurunan angka tersebut, namun dalam hal ini opinion leader
tidak bisa dianggap remeh dalam hal mempengaruhinya.
Opinion
leader menjadi faktor utama berhasil tidaknya penurunan
angka kelahiran yang menjadi salah satu program KB. Jika program tersebut tidak
mendapat dukungan dari opinion leader, sekuat apapun keinginan
pemerintah dengan cara apapun masyarakat tentu menganggap KB merupakan program
baru yang justru membatasi anak. Padahal di desa berkembang filsafat hidup
yaitu banyak anak banyak rezeki.
10. Masa
Depan Opinion Leader di Indonesia
Beberapa poin penting yang akan menjadi pertanyaan
kita kemudian adalah bagaimana masa depan kepemimpinian opinion leader
di Indonesia, yaitu :
1.
Masuknya teknologi komunikasi di
pedesaan telah menyebabkan munculnya jarak sosial antara opinion leader
dengan masyarakatnya. Masuknya teknologi baru membutuhkan keahlian dan
pengetahuan baru yang biasanya dikuasai oleh kaum muda, sehingga peran opinion
leader lambat laun akan cepat berkurang. Dahulu dalam bercocok tanam
masyarakat biasa meminta nasihat kepada opinion leader, namun sejak
adanya teknologi masyarakat mengalihkan kepercayaan pada teknologi tersebut.
2.
Dengan masuknya teknologi
komunikasi pula, hubungan intim yang selama ini terbina antara opinion
leader dengan masyarakat atau antara masyarakat itu sendiri mulai
berkurang. Misalnya acara pengajian, penyebarluasan informasi yang biasa
dilakukan secara tatap muka sudah bisa didapatkan lewat saluran komunikasi
massa. Bisa dinikmati lewat televisi dan radio, jelas ini akan mengurangi
hubungan intim antara satu dan yang lainnya. Dampaknya, peran opinion leader
akan semakin berkurang atau bahkan semakin ditinggalkan untuk menjawab berbagai
persoalan.
3.
Teknologi yang masuk ke desa
telah mengubah muatan penting dalam komunikasi. Sebelum teknologi masuk,
hubungan antara masyarakat didasarkan pada perasaan memiliki dan rela
berkorban, namun setelah teknologi masuk mengubah pola komunikasi tersebut
menjadi lebih didasarkan pada suasana saling menguntungkan. Sebab, teknologi
komunikasi mengubah budaya masyarakat menjadi lebih konsumtif. Tak tertutup
kemungkinan hubungan antara opinion leader dengan masyarakat didasarkan
pada usaha mencari keuntungan. Misalnya, opinion leader yang mau
memberikan nasihatnya dengan diikuti imbalan materi.
4.
Meskipun terancam keberadaannya,
baik yang disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang kian meningkat
atau masuknya teknologi komunikasi, opinion leader di Indonesia masih
sangat berperan dalam mempengaruhi sikap dan perilaku pengikutnya di desa. Opinion
leader tidak hanya bisa memberikan pengaruh dalam hal yang sedang dihadapi
masyarakat desa, tetapi juga bisa mempengaruhi sikap dan perilaku memilih dalam
politik dan tidak sedikit pula yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Muis. 1984. Communicating New Ideas to Traditional Villagers: an Indonesian Case. Media Asia 11.
Amri Jahi. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di
Negara-Negara Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia.
Aryanti,
Y, N, 2012. Peranan Opinion Leader Dalam Meningkatkan Peran Politik Masyarakat
Perdesaan dalam Pembangunan.
Fischer,
Joseph. 1994. The Folk Art of Java.
Singapore-New York : Oxford Uni-versity Press.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : PT.
Tiara Wacana.
Nurudin.
2004. Sistem Komunikasi Indonesia.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Ranganath. 1976. Telling the
People Tell Themselves. Media Asia 3.
Rogers,
Everett M. 1992. Komunikasi dan
Pembangunan Perspektif Kritis. Jakarta
: LP3ES.
Sumadi,
Dilla. 2007. Komunikasi Pembangunan
Pendekatan Terpadu. Bandung : Simbiosa
Media Rekatama.
Sutardi, Tedi. 2006. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya.
Bandung : PT
Grafindo Media Pratama.
Umar
Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat.
Jakarta: Sinar Harapan.
Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta :
PT. Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar