Minggu, 17 Oktober 2021

Makalah tentang Media Rakyat, Seni Rakyat dan Opinion Leader

 

MEDIA RAKYAT, SENI RAKYAT DAN OPINION LEADER

 

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Sistem Komunikasi Indonesia

 

 

Disusun  oleh :

Suci  Rahmawati      (201311011)

 

 

 

PROGRAM  STUDI ADMINISTRASI  NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SURAKARTA

2014


A.   Media Rakyat

1.      Pengertian Media Rakyat

Secara harfiah, media berasal dari bahasa latin “medius” yang bermakna tengah, perantara, atau pengantar. Menurut Arsyad, media yakni sebuah perantara/pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan tersebut. Sedangkan menurut Cangara, media adalah sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada orang lain. Jadi, media merupakan saluran penyampaian pesan dalam komunikasi antar manusia.

Secara umum, rakyat adalah semua orang yang menjadi penghuni Negara yang tunduk dan patuh pada kekuasaan Negara tersebut. Menurut KBBI, rakyat adalah penduduk yang berada di suatu Negara. Sedangkan menurut AA Nurdiman, rakyat adalah kumpulan manusia yang disatukan oleh rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah Negara.

Media rakyat merupakan salah satu saluran komunikasi alternatif untuk menyalurkan ide, gagasan, aspirasi, inovasi, dan juga kritik yang berhubungan dengan pembangunan. Media ini muncul mengingat komunikasi yang bersifat top-down tidak lagi dapat mewadahi apa yang menjadi keinginan masyarakat pada lapisan bawah.

Media rakyat sering disebut juga sebagai media tradisional, mengandung pengertian : ”sebuah sistem komunikasi   yang melekat dalam kebudayaan yang telah eksis sebelum media massa muncul. Dan masih eksis sebagai model komunikasi yang vital diberbagai belahan dunia, menyajikan sebuah tingkat kelancaran tertentu, meski berubah-ubah”. (Dissanayake dalam Dilla, 2007). Sementara itu Ranganath mendefinisikan media rakyat sebagai ekspresi hidup tentang gaya hidup dan kebudayaan sebuah masyarakat, yang berkembang selama bertahun-tahun.

Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.

Pengertian media rakyat  di atas menunjukkan bahwa media rakyat adalah media yang mengakar dalam satu masyarakat yang meliputi aneka ragam bentuk, yang mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Media rakyat tampil dalam bentuk nyanyian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat yaitu semua kesenian rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan yang diteruskan dari generasi ke generasi.

Disamping itu adapula media yang telah menggunakan teknologi namun tingkat kecanggihannya tidak sama dengan teknologi komunikasi yang populer. Media rakyat yang menggunakan teknologi sederhana banyak dijumpai dalam masyarakat yang sedang berkembang. Media tersebut seringkali dilupakan seperti : radio komunikasi yang dikenal dengan Handy Talky, interkom, koran masuk desa, radio pemancar terbatas ( radio komunitas ),  atau boleh juga media kentongan.

Media dengan teknologi sederhana ini mudah dioperasikan dan mudah perawatannya. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa media ini membantu mewujudkan banyak hal dalam pembangunan masyarakat khususnya masyarakat pedesaan. Masyarakat dapat menggunakan media ini untuk kepentingan mereka dalam mencari, mengolah dan menyebarluaskan informasi yang mereka perlukan.

Media rakyat yang fleksibel dan berisikan komunikasi yang persuasif tentunya akan sangat mudah disisipkan pesan-pesan pembangunan. Media rakyat biasanya berisikan tentang keteladanan, simbol, ritual, cita-cita budaya, dan nilai (buruk dan baik), semua itu dikomunikasikan dengan gaya bahasa yang dekat dengan masyarakat.

2.      Keunggulan Media Rakyat

Awalnya media rakyat digunakan untuk kepentingan menghibur masyarakat. Media tersebut banyak dimanfaatkan dalam upacara tertentu seperti perkawinan, panen, penyambutan tamu, bahkan upacara kematian. Namun lambat laun para ahli dan peneliti mengamati bahwa media rakyat memiliki potensi dalam upaya pembangunan  masyarakat. Hal ini karena media ini tidak asing lagi bagi mereka, sehingga apabila pesan pembangunan disisipkan dalam media ini, masyarakat dapat dengan mudah memahami dan menerima pesan yang disampaikan.

Selain itu media rakyat relatif murah dan mudah dalam pengoperasiannya. Prinsip murah dan mudah tentu saja menguntungkan bagi masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang belum mapan dan tingkat pengetahuan yang masih rendah. Media rakyat yang murah dan mudah akan sangat membantu dalam upaya memajukan pengetahuan, sikap dan perilaku mereka menuju kehidupan yang lebih baik.

Keunggulan lain dari media rakyat adalah  pengakuan dan penghargaan dari masyarakatnya, yang amat menghargai keberadaan media ini. Pengakuan dan penghargaan yang diberikan akan melancarkan upaya penyampaian pesan pembangunan melalui media ini. Masyarakat tidak akan berani menolak dan menganggap bahwa pesan yang disampaikan adalah benar dan dipercaya untuk memajukan masyarakat.

Khusus bagi negara Indonesia, potensi media rakyat sangat besar tersedia. Masing-masing daerah memiliki budaya serta media yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pesan pembangunan. Alternatif seperti ini merupakan strategi pembangunan yang cerdas, mengingat penguasaan dan penciptaan teknologi masih rendah pada masyarakat kita.

3.      Peran Media Rakyat Dalam Pembangunan Masyarakat

Pembangunan  masyarakat dapat dilakukan dengan memanfaatkan media dan teknologi yang canggih. Strategi pembangunan yang baru menemukan bahwa media alternatif diperlukan dalam mengkomunikasikan suatu ide, gagasan ataupun inovasi pembangunan. Hasil penelitian  R.J. Griffin menemukan bahwa perencana kampanye informasi yang berhubungan dengan isu-isu kompleks masyarakat, secara eksplisit perlu memilih jenis media berbeda  ( relevan ) sehingga dapat menjangkau sektor khalayak yang berbeda   (dalam Dilla, 2007).

Penggunaan media rakyat sebagai media alternatif pembangunan didasarkan pada beberapa alasan diantaranya, minimnya pengetahuan dan ketrampilan, status sosial ekonomi yang rendah, kemampuan baca tulis yang kurang. Pengetahuan dan ketrampilan masyarakat khususnya masyarakat Indonesia baik di perkotaan dan di pedesaan cenderung masih rendah. Kondisi  semacam ini yang membuat pelaku pembangunan harus memiliki alternatif, dan media rakyat adalah alternatif yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan.

Selanjutnya kemampuan baca tulis yang masih rendah merupakan alasan mengapa kita harus memilih media rakyat. Penampilan teater, tradisi lisan, bentuk wayang, tarian dan nyanyian, biasanya dapat ditampilkan oleh seseorang tanpa dia harus pintar membaca atau menulis. Ketrampilan melakukan media rakyat tersebut bisa dipelajari secara mandiri atau belajar dengan orang lain. Bakat dan kemauan berlatih adalah syarat utama untuk dapat menguasai media rakyat ini.

Media rakyat menjadi alternatif pilihan karena cara berfikir masyarakat yang masih irrasional. Artinya masih banyak menggunakan perasaan, bukan akal sehat. Cara berfikir semacam ini tentu saja menyulitkan dalam menyampaikan pesan pembangunan. Oleh karena itu lewat kesenian, tradisi dan budaya lokal, pesan tersebut dapat disampaikan. Media ini mengakomodir perasaan, emosi  seseorang, sehingga pesan tadi dapat dipahami dan dimengerti dengan mudah.

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam menggunakan media rakyat dalam pembangunan. Pertama, memahami dengan baik karakter saluran komunikasi berupa media rakyat dengan baik. Dengan memahami karakter media rakyat ini diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dalam penggunaannya. Hal ini karena media rakyat di beberapa daerah menempati posisi suci dan penting, sehingga dalam penggunaannya harus mengikuti aturan tertentu dan tidak boleh sembarangan.

Kedua, memadukan media rakyat dengan media massa adalah pilihan yang tepat. Kehidupan modern dan serba canggih dewasa ini, membuat media massa tidak lepas dari kehidupan sehari-hari kita. Televisi, surat kabar, radio, film dan internet setiap hari menyampaikan aneka ragam pesan dalam sekejap. Apabila media rakyat digabung dengan media massa, maka penggabungan ini dapat memberi keuntungan. Antara lain  media rakyat tersebut  dapat dikenal dan disampaikan kepada sejumlah khalayaknya dalam waktu yang singkat.    Kasus di Indonesia seperti : penayangan wayang orang atau wayang kulit di televisi. Penampilan wayang tersebut diselipkan pula tentang pesan pembangunan seputar demokrasi, pendidikan politik dalam memilih, atau pesan tentang keluarga berencana.

4.      Bentuk Penerapan Media Rakyat Dalam Pembangunan

a. Kacapian di Radio Abilawa Subang Jawa Barat

Masyarakat Jawa Barat, khususnya suku sunda tidak bisa dipisahkan dari kesenian adat kacapian. Kacapian tidak saja dimainkan pada saat hajatan pernikahan atau sunatan saja tetapi juga pada acara besar seperti acara ruwatan bumi. Acara kacapian di radio Abilawa diselenggarakan secara Live menyertakan penggemar dan warga masyarakat. Jadi kadang-kadang orang berkumpul di studio bisa mencapai 20 – 30 orang. Acara kacapian menjadi sarana efektif dalam menyampaikan informasi dan mewadahi dialog interaktif antarwarga. Kadangkala dalam acara tersebut, pihak radio mengundang pihak-pihak dianggap kompeten sebagai narasumber, seperti : aparat desa, kecamatan atau pejabat terkait sesuai dengan topik pembicaraan. Kepala desa sebagai tokoh aparat, selalu datang di setiap acara tanpa perlu diundang lagi.

b. Alunan nazam di radio komunitas Samudra FM  Geudong Aceh Utara

Alunan nazam adalah alunan syair khas Aceh. Setiap jumat malam dari jam 22.00 – 24.00 radio menyiarkan alunan nazam tersebut. Ada beberapa kelompok nazam yang berpartisipasi. Setiap jumat malam anggota kelompok  secara bergiliran membacakan nazam. Kecintaan, kepedulian, dan semangat untuk melestarikan nazam memupuk rasa keihklasan dan semangat sukarela. Kelompok nazam didominasi oleh para ibu. Mereka membacakan nazam selama 2 jam dan pulang larut malam.

Alunan nazam ternyata diminati terutama oleh kaum orang tua. Banyak warga menyarankan agar nazam ini rutin diperdengarkan. Dukungan mulai mengalir. Dari ikut menuliskan syair dan mengirimkan naskah, sampai dukungan dalam bentuk uang. Dana yang terkumpul dibelikan dispenser untuk pengelola dan pembaca nazam. Peran masyarakat dalam bentuk partisipasi dan kesadaran tinggi akan informasi dan pentingnya media komunitas sebagai alat untuk mengaktualisasikan kemampuan dalam berkesenian, diharapkan akan membawa perubahan yang berarti dan bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Wayang Purwa di pulau Jawa

Wayang Purwa di definisikan sebagai bentuk seni pertunjukan yang menggunakan boneka dari kulit serta menyajikan cerita yang pada mulanya berasal dari cerita kepahlawanan Hindu : Ramayana dan Mahabarata. Wayang purwa dapat menjadi penghubung antara pandangan yang berbeda antara penduduk kota dan desa. Wayang ini dapat membantu mengurangi lebarnya jurang pemisah komunikasi, mencegah terjadinya perpecahan  dalam masyarakat. Dewasa ini wayang purwa dapat ditampilkan secara live atau disiarkan melalui stasiun radio, dimana dapat diselipkan pesan berisi tentang keluarga berencana, pengenalan jenis padi berproduktivitas tinggi, dan pesan-pesan lainnya.

Pertunjukan wayang biasanya berlangsung semalam suntuk, yang dibagi menjadi tiga bagian. Pathel nem, pathel sanga, dan pathel mayura. Pembagian ini disusun secara tradisional, masing-masing bagian terdiri dari babak  dan adegan-adegan. Isi cerita terdiri dari berbagai pokok pembicaraan, mulai dari lelucon sehari-hari sampai pada pembicaraan yang rumit tentang filsafat dan ajaran kebatinan.

Meskipun wayang purwa merupakan suatu bentuk seni jawa, tetapi ceritanya sedikit memiliki perbedaan antara daerah satu dengan daerah lainnya. Bentuk kesenian ini dikenal oleh suku-suku lainnya di Indonesia.  Irang sunda di Jawa Barat mengetahui cerita tersebut yang disebut dengan wayang golek, di Jawa Timur wayang purwa mempunyai corak sendiri yang dikenal sebagai wayang orang.

5.      Ragam Media Tradisional

Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor, yaitu:

a.       Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng)

Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan  mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Dongeng adalah prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.

b.      Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah)

Menurut Cervantes ungkapan tradisional adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang panjang. Sedangkan Bertrand Russel menganggapnya sebagai kebijaksanaan orang banyak yang merupakan kecerdasan seseorang.  Menurut Russel bahwa meskipun ungkapan tradisional adalah milik kolektif, namun yang menguasai hanyalah beberapa orang saja.

c.       Puisi rakyat

Sajak atau puisi rakyat adalah kesusatraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama.

d.      Nyanyian rakyat

Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian.

e.       Teater rakyat

Teater rakyat merupakan seni pertunjukan yang biasanya mengekspresikan dan menggambarkan kehidupan suatu rakyat.

f.       Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);

g.      Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan

h.      Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).

Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secara apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh suatu televisi swasta.

6.      Fungsi Media Tradisional

William Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai media tradisional adalah sebagai berikut:

1.        Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.

2.        Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena mempunyai kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemampuannya memperistri ”makhluk halus”. Rakyat tidak boleh menentang Raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai Parang Kusumo.

3.        Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.

4.        Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi. Cerita ”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian sosial terhadap norma dan nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak bicara namun sedikit kerja.

Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan ini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat (Direktorat Penerangan Rakyat dalam Jahi, 1988).

Ranganath (1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera. Ranganath juga memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa pesan-pesan modern.

Eapen (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media ini tidak akan menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karena ia mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.

Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi, 1988) menambahkan bahwa media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi yang berada di luar jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.

7.      Keberadaan Media Tradisional

Pada masa silam, media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting. Kini penampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:

1.        Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan televisi.

2.        Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.

3.        Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada pengembangan media tradisional ini, dan

4.        Berubahnya selera generasi muda.

Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset video.

Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.

Surutnya media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah.

Untuk mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia ketiga menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake dalam Jahi, 1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekurangan ini menjadi kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.

Situasi ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju. Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.

Perhatian para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia ketiga dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai ditelusuri. UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional secara terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja bersama masyarakat. Yang tujuan utamanya tidak hanya bersifat pengembangan sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976).

Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami kerugian besar, jika tidak didukung oleh media tradisional.

8.      Peran Media Tradisional dalam Sistem Komunikasi

Media tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun musik yang ditampilkan.

Kesulitan tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi yang hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.

Sebagian dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada khalayak (warga masyarakat). Ia dapat juga menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial (Budidhisantosa dalam Jahi 1988).

Walaupun demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli memperingatkan bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan bagi maksud-maksud pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak media itu, sehingga kita harus waspada. Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk maksud pembangunan, sebenarnya ialah bagaimana menjaga agar media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo dalam Jahi 1988).

Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional bagi kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog, dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di Jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai media penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episode-episode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera misalnya bahasa Jawa, Sunda, atau Bali yang diiringi nyanyian dan musik yang spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih tradisional, wayang lebih daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang sebagai perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu Belanda, Presiden Soekarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju Kemerdekaan.

9.      Strategi media tradisional menghadapi persaingan media modern

Strategi media tradisional menghadapi persaingan media modern, yaitu :

1.        Tari tradisional dikemas dengan cara kekinian sehingga menarik minat remaja untuk mempelajarinya.

2.        Mendokumentasikan setiap tari tradisional, baik secara ingatan maupun melalui media rekam. Dengan dokumentasi tersebut, dapat menjadi inspirasi bagi para seniman untuk bisa mengangkatnya menjadi baru atau menghidupkan kembali.

3.        Revitalisasi kesenian tari yang punah dengan Kemendikbud bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan di masing-masing daerah.

4.        Pelestarian budaya dengan melestarikan proses produksi dan konsumsi simbol di dalam masyarakat melalui pelestarian aspek-aspek pembentuk budaya di dalam masyarakat.

5.        Perlu digalakkan penulisan cerita-cerita rakyat yang dulu bisa dipentaskan dalam bentuk Prabuloro atau Damar Wulan dan sekarang sudah hampir punah dalam bentuk novel.

6.        Memperkenalkan nilai-nilai budaya lokal kepada anak-anak sejak dini.

7.        Pimpinan formal maupun informal bersama-sama masyarakat agar mendorong masyarakat untuk melakukan transformasi budaya lokal.

10.  Upaya Agar Media Tradisional Diminati Penduduk Bangsa Indonesia

Untuk mengatasi pengaruh media modern terhadap media tradisional, khususnya untuk membentengi  kalangan remaja dari pengaruh negatif diperlukan pelibatan semua pihak terutama pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat seperti, para ulama, budayawan serta keterlibatan orang tua di rumah.

1.        Peranan Pemerintah

Pemerintah hendaknya dapat mengambil kebijakan strategis melalui penataan ulang sistem pendidikan terutama mengenai pengaturan  kurikulum. Umumnya di setiap sekolah menerapkan sistem pengajaran pengetahuan mengenai ilmu keagamaan kepada para remaja sekolah dengan waktu yang berjalan selama dua jam dalam se-minggu saja. Tentu saja ini kurang memadai waktunya untuk mengharapkan sebuah perubahan prilaku siswa sehingga memerlukan penambahan jam pelajaran atau kreatifitas guru bidang study tersebut dalam bentuk kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah seperti kegiatan pengajian atau kajian-kajian tematik menurut pandangan agama. Sebaiknya pemerintah menata ulang sistem pendidikan dan mendorong kreatifitas guru bidang study. Mengenai pelajaran dan pemahaman keagamaan sesungguhnya tidak hanya terpaku pada bidang study agama yang dinilai waktunya kurang memadai tersebut tetap setiap guru mata pelajaran umum juga dapat memasukkan nilai-nilai agama ketika mengajar di hadapan siswanya.

2.      Peranan Tokoh Agama dan Budaya

Peranan para ulama dan budayawan melalui program kerja organisasi keaagamaan dan sanggar-sanggar budaya sangat strategis untuk menangkal masuknya budaya asing dalam masyarakat khususnya kalangan generasi muda.  Keterlibatan para tokoh agama dan budaya melalui  program kerja organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan yang lainnya dapat diarahkan pada pembinaan remaja agar memiliki ketahanan budaya yang berbasis agama. Begitu juga peranan para budayawan dan seniman melalui organisasi atau sanggar seni dapat merancang program kerja yang diminati oleh kalangan remaja sehingga mereka tidak tertarik dengan budaya hura-hura yang datang dari budaya asing.

Kalau hal ini dapat diperankan secara maksimal oleh para tokoh agama dan budayawan, maka pola pembinaan generasi muda dapat diarahkan kepada penanaman nilai-nilai Pancasila dan ajaran agama yang lebih terarah dan terukur, baik dari kegiatan-kegiatan internal sekolah seperti pada proses belajar-mengajar maupun  di luar sekolah seperti remaja masjid, kesenian dan budaya. Dengan adanya kebijakan ini remaja juga dapat berinterksi sosial secara langsung dengan masyarakat sebagai pelaku sosial.

3.      Peranan orang tua dan keluarga

Keluarga merupakan lingkungan anak yang paling banyak waktunya. Orang tua adalah figur utama dalam keluarga yang paling bertanggungjawab terhadap masa depan anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu, lingkungan keluarga sangat berkontribusi terhadap kualitas prilaku atau akhlak anggota keluarga terutama anak-anaknya. Lingkungan keluarga dan lingkungan sosial harus tetap beriklim positif dalam artian orang-orang yang ada dalam sekitar kita harus orang-orang yang “tidak membawa kita kedalam kesesatan”. Orangtua harus bisa mengambil porsi lebih banyak diantara porsi yang lainnya.

Peran orang tua sangat amat dibutuhkan, selain mengawasi anak-anak dan dengan siapa dia bergaul, tetapi sesekali orang tua harus turun langsung mengawasi anak-anaknya agar jangan sampai anak-anaknya bisa salah gaul. Pada masyarakat modern, seorang remaja sangat tergantung pada cara orang tua atau keluarga mendidiknya. Melalu interaksi dalam keluarga, remaja akan mempelajari pola perilaku, sikap, keyakinan dan cita-cita dan nilai dalam keluarga dan masyarakat, Berikut adalah penjelasannya  tentang peran orang tua dan keluarga :

v  Orang tua harus PD terhadap kebudayaan bangsa sendiri

Sekarang ini anak lebih memilih untuk menonton bioskop yang memutar film-film asing daripada menonton pertunjukan tari tradisional. Anak juga lebih menyukai lagu-lagu barat yang dianggapnya lebih keren daripada musik-musik tradisional Indonesia. Hal ini akan membuat budaya asli Indonesia makin lama makin luntur. Sebaiknya orang tua percaya diri terhadap budaya bangsa sendiri dan mendidik anak untuk mencintai budaya Indonesia dengan melibatkan anak dalam pembicaraan mengenai budaya dan mengajaknya nonton pameran kesenian.

v  Hindarkan anak dari kecanduan gadget

Kebanyakan orang tua jaman sekarang malah memberikan anak-anaknya permainan yang dapat diakses melalui kecanggihan gadget. Padahal hal ini akan membuat anak bersikap individualistis dan kesulitan berkomunikasi dengan orang lain.

v  Memberi menu makanan tradisional pada anak

Makanan asli Indonesia seperti sayur pare, melinjo dan kangkung kini sudah tidak banyak diminati lagi di kalangan remaja dan anak-anak. Anak cenderung lebih menyukai makan makanan seperti burger atau pizza yang merupakan makanan khas bangsa lain.

v  Memilih konsumsi media yang tepat bagi keluarga

Harus membatasi akses terhadap media massa maupun elektronik yang terlalu menyorot budaya asing. Pilihlah tontonan keluarga yang sifatnya mendidik dan mengenalkan anak terhadap budaya bangsa.

4.      Sekolah

Sebagian besar anak menghabiskan waktunya di sekolah dimulai dari pagi hari dan terkadang hingga sore karena banyaknya kegiatan. Nah, sekolah harus menyediakan wadah bagi para siswa agar tertarik dengan budayanya sendiri.

Para pengajar harus mengajarkan pentingnya kebudayaan daerah dengan melibatkan setiap siswa ketika mengadakan pertunjukan kesenian, mengikutkan siswanya untuk perlombaan tentang kesenian daerah, dan sebagainya.

Pihak sekolah juga harus memperhatikan sarana untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut, memperhatikan ekstrakurikuler kesenian daerah agar tidak dipandang sebelah mata,dan sebagainya.

 

B.   Seni Rakyat

1.      Pengertian Seni Rakyat

Seni berasal dari kata art (latin) yang berarti kemahiran/keahlian. Menurut Ki hajar dewantara, seni adalah segala bentuk perbuatan yang timbul dari perasaan dengan sifat indah yang menggerakan jiwa perasaan. Sedangkan menurut Ahdian, seni merupakan kegiatan rokhani yang merefleksikan realitas ke dalam suatu karya yang memiliki bentuk dan isi untuk membangkitkan pengalaman-pengalaman tertentu ke dalam rokhani para penerima.

Adapun “seni rakyat” adalah bagian dari kebudayaan rakyat (folk culture), yaitu seni yang  berkembang di desa-desa, di luar lingkar istana atau pusat-pusat kesenian yang biasa menopang timbulnya budaya agung atau budaya  adiluhung (high-culture). Seni rakyat adalah kesenian masyarakat banyak dalam bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah yang diciptakan sendiri oleh anggota masyarakat yang hasilnya merupakan milik bersama. Seni rakyat adalah menurut bahasa Umar Kayam, seninya komunitas pedesaan yang masih akrab, homogen dan justru berfungsi untuk mengikat solidaritas komunitas (Kayam, 1981:140).

Seni rakyat umumnya bersahaja, spontan dan responsif, dan bentuk maupun geraknya sederhana. Dalam hal seni pertunjukan rakyat iramanya pun dinamik, berulang-ulang dan cenderung cepat. Tengok saja, misalnya : tabuhan yang  mengiringi pertunjukan jathilan, selalu merupakan ulangan yang berkepanjangan yang konon justru karena mengikuti repetisi yang terus-menerus itulah yang menjadikan beberapa di antara pemainnya mengalami trans.

Seni rakyat biasanya tercipta secara anonim. Kita tidak pernah tahu siapa yang melahirkan Kuda Lumping yang terdapat di Jawa, Lenong yang merupakan andalan kesenian rakyat Betawi atau tari Angguk yang sedang terkenal dari Sleman, Kulon  Progo dan sekitarnya. Begitu pun kesenian  Bajidoran, Ketuk Tilu, atau Longser dari Jawa Barat.

Sementara itu seni rakyat hampir tidak mengalami perkembangan apa-apa, dari waktu ke waktu bentuknya hampir sama saja, karena pada umumnya sudah menyatu dan serasi dengan masyarakat pemiliknya. Namun yang terakhir ini justru merupakan watak seni rakyat. Seni rakyat amat akrab dengan masyarakat pemiliknya. Lebih lanjut Kuntowijayo (1987:25) menambahkan bahwa seni rakyat bersifat kasar dan tidak tuntas. Namun,  sekali lagi seni rakyat terasa lebih spontan, lebih kreatif, dan penuh kejujuran. Dalam seni pertunjukan rakyat bahwa sering terjadi dialog langsung antara pemain dengan publiknya tanpa dipersiapkan lebih dulu.

Menurut Fischer (1994:1), seni rakyat merupakan hasil seni tradisional yang terdiri daripada seni musik, seni tari, seni ukir, seni lakon, seni bina, seni mempertahankan diri. Kegiatan seni mempamerkan bakat dan nilai mutu seni yang tinggi.

Dalam aspek komunikasi, seni rakyat yang lebih setara fungsinya ialah melalui seni musik, seni lakon dan seni tari. Antara contoh seni musik ialah Hadrah, gamelan, rebana ubi, seruling, kompang, nafiri dan gong. Seni tari pula merujuk kepada seni joget, inang, zapin, kuda kepang, asyik. Seni suara atau lagu endoi atau dendang Siti Fatimah, ulit anak, nazam, marhaban, nasyid. 

Seterusnya, kita akan melihat bagaimana seni tari menjadi alat komunikasi tradisional berbentuk non-verbal. Secara dasarnya, seni tari  adalah gerak indah dan berirama yang mengandungi dua unsur penting gerak dan irama. Menurut Haukin seorang menyatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imaginasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolik dan sebagai ungkapan si pencipta.

Secara tidak langsung di sini Haukins memberikan penekanan bahawa seni tari merupakan ekspresi jiwa menjadi sesuatu yang dilahirkan melalui media ungkap yang disamarkan.  Menurut seorang ahli sejarah tarian dan musik Jerman bernama C. Sachs telah memberikan definisi seni tari sebagai gerakan yang berirama. Seni tari adalah pengucapan jiwa manusia melalui gerak-geri berirama yang indah. Dalam kebudayaan melayu terdapat berbagai-bagai jenis tarian, sama ada tarian asli ataupun tarian yang telah dipengaruhi oleh unsur-unsur moden. 

Contoh seni tari yang popular ialah Tarian Kuda Kepang juga mempunyai cara yang tersendiri dalam memainkan peranan sebagai pencetus komunikasi.  Dikatakan bahawa tarian ini diperkenalkan oleh pendakwah Islam sebagai cara menarik penduduk setempat agar datang beramai-ramai menyaksikan persembahan mereka. Pendakwah akan menyampaikan dakwah mereka sebelum atau selepas persembahan. Para penari menggunakan kuda kepang untuk menggambarkan kisah kejayaan perjuangan suci Islam, diiringi paluan gendang, gong dan angklung.

Tarian Kuda kepang amat digemari oleh penduduk  Johor terutamanya dari keturunan Jawa. Kuda kepang ini biasanya dibuat dari anyaman yang dibentuk seperti seekor kuda tanpa kaki. Ia diperbuat daripada buluh yang dianyam atau kulit binatang yang diwarnakan untuk menjadi lebih menarik. Lazimnya terdapat 10 hingga 15 orang penari bagi setiap kumpulan penari kuda kepang yang biasanya akan mempunyai seorang ketua. Tarian ini biasanya dipertunjukkan di majlis-majlis keramaian untuk memeriahkan lagi suasana seperti sewaktu menyambut orang-orang kenamaan, meramaikan majlis perkawinan dan di hari-hari perayaan.

Seni lakon atau teater tradisional  pula boleh dikategorikan kepada persembahan dramatari, wayang kulit, teater bangsawan dan boria. Mengambil contoh wayang kulit, proses perkembangannya wayang kulit telah banyak melalui perubahan. Setelah melalui pelbagai zaman, wayang kulit dapat menyesuaikan dirinya secara bebas dan kreatif. Wayang kulit bermula sebagai alat yang ada kaitannya dengan upacara penyebaran agama, tetapi kemudiannya digunakan sebagai alat pendidikan dan penerangan. Pada kesempatan inilah nilai-nilai pendidikan dan pembangunan keluarga disampaikan. Nilai-nilai pembangunan masyarakat sebenarnya didasarkan pada hakikat bahawa keluarga menjadi agen pembentukan masyarakat. Inilah antara faktor mengapa wayang kulit sehingga kini menjadi salah satu tradisi kesenian negara.

2.      Fungsi Seni Rakyat

Fungsi seni dalam kehidupan masyarakat ada dua fungsi :

1.      Fungsi seni dalam masyarakat tradisional

Fungsi seni dalam masyarakat tradisional dalam pemahaman umum, seni sering diartikan hanya sebagai hiburan. Konotasi inilah yang perlu kita perjelas tidak hanya sebagai media hiburan. Seni dalam pemahaman yang lebih kompleks dapat merupakan sarana legitimasi, ketika seni itu berada di dalam istana (kraton). Soedarsono mengemukakan bahwa fungsi seni pertunjukan ada tiga yaitu :

1.      Pemujaan / ritual

Fungsi seni untuk pemujaan berlangsung pada masa ketika peradaban manusia masih sangat terbelakang. Kehidupan kesenian waktu itu belum mengenal adanya instrumen musik, busana, dan gerak, tata panggung dan lain-lainnya, seperti kesenian pada masa kini. Kecenderungan seni ritual pada masa lalu lebih menekankan pada misi dari pada fisik atau bentuk. Tidak mengherankan kalau bentuk seni ritual untuk pemujaan masih sangat sederhana, baik dari aspek musik iringan, busana (kostum) serta rias, gerak, maupun penggunaan dekorasi sebagai setting pertunjukan. Pada saat ini kita masih dapat menjumpai jejak-jejak seni yang berperan sebagai media ritual atau pemujaan, misalnya tari barong untuk upacara di Bali.

2.      Tuntunan

Fungsi seni sebagai tuntunan lebih menyentuh pada misi yang secara verbal diungkapkan. Pelaku seni dalam hal ini lebih dituntut untuk menyampaikan pesan moral yang akan dicapai. Seorang dalang sebagai contohnya, harus mampu memerankan semua tokoh yang ada di dalam kotak wayangnya. Dalang juga harus mampu membawakan diri dan memilah mana tokoh simbol angkara murka dan mana tokoh kebaikan. Dimensi inilah yang mewarnai tuntunan di balik sebuah tontonan.

3.      Tontonan/hiburan

Fungsi seni sebagai tontonan atau hiburan tidak banyak membutuhkan persyaratan. Seni untuk hiburan tidak terikat pada misi tertentu. Seni yang mampu memberikan kesenangan pada seorang atau kelompok orang yang berada di sekitar pertunjukan.

2.      Fungsi seni dalam masyarakat modern

Fungsi seni dalam masyarakat modern berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern yang sangat beragam dan kompleks. Seni secara jelas dapat dijumpai di setiap elemen dan situasi kehidupan. Mungkin di masa lalu seni juga sudah mengusung fungsi berikut ini namun tidak tampil secara jelas. Berikut fungsi seni dalam masyarakat modern :

1.      Ekspresi/aktualisasi diri

Kecenderungan fungsi pertunjukan untuk ekspresi atau aktualisasi diri ini merupakan perwujudan dari semboyan seni untuk seni atau lart pour lart. Tidak ada orang yang dapat mengganggu gugat ekspresi seni dalam penampilannya. Kebebasan di sini lebih menekankan pada pencapaian tujuan tertentu yang diperjuangkan. Contoh seni instalasi, happening art, dan sejenisnya.

2.      Pendidikan

Seni sebagai pendidikan merupakan elemen mendasar yang perlu dipahami. Hal ini karena esensi seni sebenarnya tidak dapat lepas dari muatan edukatif. Dengan kata lain apa yang dituangkan ke dalam berbagai cabang seni merupakan sarana untuk mewujudkan tujuan untuk membentuk budi pekerti seseorang.

3.      Industri

Fungsi seni sebagai industri lebih mengarah pada tujuan atau kepentingan tertentu untuk mendukung satu produk tertentu. Seni untuk industri adalah sesuatu yang mampu memberi daya tarik pada produk yang ditawarkan. Misalnya sebuah lagu dibuat untuk kepentingan iklan produk susu. Atau ketika seorang penata tari membuat koreografi untuk menggambarkan sesuatu yang terkait dengan keperkasaan seseorang lewat iklan rokok.

4.      Seni terapi

Fungsi seni untuk terapi digunakan secara khusus memberi ketenangan batin seseorang yang sedang menderita secara psikis. Masalah kejiwaan yang sering dihadapi manusia membutuhkan media untuk menyelesaikan. Salah satu cara tersebut dapat ditempuh dengan beraktivitas di dunia seni. Dengan berolah seni seseorang yang memiliki permasalahan atau tekanan jiwanya, akan terobati. Dengan demikian orang belajar seni untuk terapi sebagai media untuk memberi siraman estetis melalui kegiatan seni yang ia gemari.

5.      Komersial / instant

Seni untuk kategori sebagai alat mendatangkan keuntungan (entertaiment) ini bisa dibuat keperluan dan keinginansi penggarap. Apa pun dan wujud kesenian itu asal mampu memenuhi keinginan pembeli tidak masalah, walaupun kadang-kadang harus menyimpang pada norma estetis yang berlaku. Seni untuk fungsi ini terjadi karena permintaan yang makin banyak. Dunia pariwisata membuka peluang untuk pengemasan jenis-jenis pertunjukan kemasan.

3.      Fungsi Seni dalam Kehidupan Manusia

Menurut Chapman fungsi dari seni dibagi menjadi enam bagian, yaitu:

1.    Fungsi Pribadi (Individual)

Pengertian fungsi seni dalam individu adalah konsep penciptaan seni yang lebih menekankan pada proses emosional dari sang seniman. Disini peran seniman sebagai kreator dalam menciptakan sebuah karya seni, semua ide, imajinasi, pemikiran dituangkan sehingga menghasilkan sebuah karya seni. Bagi seorang seniman karya seni itu mencitrakan pemikiran dan karakter psikologis dari si penciptanya. Oleh sebab itu ketika seseorang apresiator mengamati sebuah karya seni, disitu dapat dibaca karakter dari si seniman. Bagi seniman juga akan tecapai kepuasan jiwa atau diri, ketika semua konsep pemikirannya telah tertuang dalam karya. Perlu ditekankan disini fungsi individu dari seni itu dapat tercapai dengan sempurna, jika seniman itu berkarya dengan jujur, berkarya dengan hati.

2.    Fungsi Masyarakat (social)

Setiap karya seni yang diciptakan seniman, pada umumnya akan disajikan kepada masyarakat atau audiens. Ketika karya seni itu hadir di dalam masyarakat, maka disitulah terjadi interaksi antara audiens dan karya seni tersebut. Distu karya seni di nikmati, diamati, diapresiasi, sehingga timbullah proses komunikasi. Dalam mengamati sebuah karya seni rupa, apresiator dapat dengan bebas menilai, mencari, dan menggali makna visual dari sebuah karya seni rupa. Fungsi seni dalam masyarakat dibagi menjadi dua bagian yaitu fungsi rekreasi dan fungsi komunikasi. Fungsi seni di masyarakat yang berhubungan dengan rekreasi atau wisata, apabila karya seni itu dikonsep atau diprogram untuk menarik wisatawan. Dalam hal ini para apresiator dapat menikmati sebuah karya seni secara langsung dan tidak lansung. Pengamatan secara langsung ini dapat kita jumpai misalkan pada pameran seni lukisan, pameran patung dan seni publik. Sedangkan apresiasi karya seni yang tidak  langsung, mempunyai pengertian apabila karya seni tersebut tidak dijadikan konsep utama. Artinya sebuah karya seni tersebut hanya sebagai pelengkap dalam suatu acara atau bangunan. Ini dapat dijumpai misalkan lukisan yang terpajang di restaurant, hotel, dan perkantoran.

Sedangkan fungsi seni dalam pengertian komunikasi adalah dimana sebuah karya seni itu mempunyai pesan visual yang akan disampikan kepada masyarakat. Dalam konteks ini karya seni menjadi mediator antara sang produsen dengan audiens. Karya seni  rupa dapat dikatakan berhasil menyampaikan pesan, apabila makna dari sebuah karya tersebut dapat dicerna dan dipahami oleh audiens atau apresiator. Kecenderungan karya seni rupa yang mempunyai muatan pesan,dapat dijumpai pada karya seni Reklame. Dengan adanya karya-karya reklame seperti poster, spanduk, neonbox, banner dan pamphlet, sebagai karya seni terapan yang penggunaannya lebih kepada fungsi komunikasi. Perlu dijelaskan lebih  dalam mengenai jenis karya seni diatas, mungkin kurang mempunyai nilai artistik dan lebih mementingkan nilai yang sederhana dan sedikit kerumitan. Tetapi bukan berarti karya tersebut bukan karya seni, semua itu masuk dalam kategorisasi karya seni rupa, jika memiliki nilai estetika yang tinggi. Sebaliknya jika karya seni tersebut , tidak mempunyai nilai estetika yang tinggi, maka karya seni tersebut bisa di kategorikan sebagai jenis Low Art, Pastiche, atau Kisch.

3.    Fungsi fisik

Pengertian fungsi seni secara fisik  ini erat hubungannya dengan seni pakai atau nilai guna. Karya seni memang dalam kehidupan sehari-hari mempunyai fungsi sebagai sarana penunjang kehidupan. Kekurangan dari karya seni yang berorientasi pada fungsi fisik yaitu terabaikannya nilai estetika dari karya tersebut. Hal ini memang sudah terkonsep dari kreator atau seniman. Pembuatan karya seni tersebut hanya menekankan pada fungsi fisik, enak dipakai, nyaman digunakan dan efesien. Sehingga terdapat kecenderungan karya seni seperti ini mempunyai nilai artistik yang rendah. Karya seni ini dapat kita jumpai di seni kerajinan, seperti kursi, mebel, keramik, perabot, asesoris dan fashion.

4.    Fungsi Keagamaan (Religious)

Seni rupa atau seni lainnya memang ikut andil dalam ranah agama atau religious. Kemunculan seni rupa sejak zaman pra sejarah sampai modern, secara subtansial terdapat fungsi dalam suatu kepercayaan. Karya-karya seni yang erat hubungannya dengan fungsi religious ini dapat ditelusuri mungkin sejak zaman Renaisans. Di Italia pada abad 15, abad dimana pergolakan pemikiran dan kreativitas dieksplorasi munuju pencerahan. Seniman Renaisans pada waktu itu berkarya untuk kepentingan gereja, dengan dukungan dari penguasa atau bangsawan. Peran seniman pada zaman itu sangat berpengaruh dalam menciptakan karya seni yang religious sebagai penunjang peradaban Renaisans. Seniman-seniman terkenal seperti Philipo Brunelesci, Leonardo da Vinci, Michaelangelo, Andrea Mantegna,dan Rphael, melukis dan membuat patung untuk kepentingan gereja. Karya-karya mereka menghiasi gereja-gereja sebagai representasi terhadap tuhan Yesus.

Begitu juga yang terjadi di belahan dunia timur atau dunia Arab. Di wilayah timur yang sebagian besar menganut ajaran Islam, memang tidak begitu dominan memunculkan seniman, walaupun itu ada tapi mungkin tidak terekspos. Karya seni yang bernuansa islami ini, dapat dijumpai pada masjid-msjid berupa kaligrafi Arab. Seni kaligrafi memang identik dengan dunia arab, tetapi bila dipahami lebih dalam pengertian kaligrafi adalah seni tulis menulis atau menulis indah. Oleh sebab itu kaligrafi dapat di jumpai di berbagai perdaban manusia, bukan hanya di peradaban Islam. Tetapi mungkin dalam perkembangannya kaligrafi Islam lebih dominan, karena faktor banyaknya penganut agama tersebut.

5.    Fungsi Pendidikan (Education)

Fungsi seni dalam dunia pendidikan memang berperan dalam menunjang lancarnya proses belajar mengajar. Dalam konteks ini karya seni sebagai mediator penyampaian pesan dalam proses belajar. Berbagai metode dalam proses belajar mengajar dari mulai metode verbal maupun non verbal. Seni visual atau seni rupa dapat pula diterapkan dalam pendidikan. Ketika pesan verbal itu perlu sarana pendukung dalam bentuk visual, maka dapat dihadirkan dalam bentuk gambar, lukisan, ilustrasi, ataupun poster. Seni visual mungkin lebih efektif dalam penyampaian gagasan, ide atau cerita, dengan ditunjang olah verbal. Dengan demikian jelaslah seni dapat sebagai penunjang dalam dunia pendidikan.

6.    Fungsi Ekonomi (Economic)

Ketika seniman menciptakan sebuah karya seni, tentunya mempunyai tujuan yang akan dicapainya. Tujuan dari diciptakannya karya seni adalah pencapaian nilai artistik, hadirnya makna. Tetapi disamping itu mempunyai tujuan atau fungsi yang lain yaitu fungsi ekonomi. Dapat dikatakan “seniman juga butuh makan, butuh tempat tinggal”. Karya seni yang hadir dengan tujuan komersil, perlu dipertanyakan nilai estetikanya. Jangan sampai hanya karena tujuan komersil, nilai artistik diabaikan. Tentunya fenomena ini dapat dijumpai di kehidupan sehari-hari. Pertimbangan dari karya seni yang berorientasi  pada nilai ekomomi adalah untung rugi. Ketika seniman membuat karya dengan jenis media dan ukuran yang berbeda, tentunya nilai komersil dari sebuah karya seni itu akan berbeda.

Karya-karya seni yang tujuan utamanya adalah nilai ekonomis, umumnya adalah seni terapan seperti arsitektur, reklame, kriya atau kerajinan dan grafis poster. Tetapi bukan berarti seni murni tidak komersil, seni murni seperti lukisan, patung dan grafis juga bersifat komersil. Tetapi konteks dalam seni murni memang lebih menekankan pada nilai artistiknya. Sehingga secara tidak langsung timbul nilai komersil dari karya tersebut. Dalam dunia seni rupa tidak sedikit dijumpai seniman-seniman kaya. Secara mendasar sifat seni disamping mempunyai nilai estetika juga nilai komersil. Nilai komersil dari seni murni adalah imbas atau efek yang ditimbulkan. Bahkan bila ditinjau lebih dalam nilai jual seni murni seperti lukisan, patung, kadang tidak sebanding dengan media yang di gunakan. Misalkan sebuah lukisan bisa berharga 20 juta sampai 1 milyar atau bahkan lebih. Itulah penghargaan pada sebuah nilai estetika dari karya seni rupa.

4.      Kesenian Rakyat Indonesia di Era Globalisasi

Pada era globalisasi saat ini, eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada pada titik yang rendah dan mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun dari dalam.  Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat dilihat dari pengaruh berbagai karya-karya kesenian populer dan juga karya-karya kesenian yang lebih modern.  Kesenian-kesenian populer tersebut lebih mempunyai keleluasan dan kemudahan-kemudahan dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah maupun teknologi, sehingga hal ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat.  Selain itu, aparat pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau memprioritaskan segi keuntungan ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian rakyat semakin tertekan lagi.

Segi komersialisasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah ini tentu saja didasarkan atas pemikiran yang pragmatis  dan cenderung mengikuti perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan yang ada.  Dengan demikian, pengaruh ini jelas mempunyai dampak yang besar terhadap perkembangan dan kreativitas kesenian rakyat itu sendiri. Di pihak lain, adanya masyarakat yang masih setia kepada tradisinya perlahan-lahan mengikuti perkembangan pembangunan. 

Kebanyakan hal tersebut (kesenian tradisional) ini tidak dapat bangun lagi karena kerasnya daya saing dengan kesenian-kesenian yang sangat modern.  Sementara itu pemerintah hampir tidak peduli lagi dengan keadaan kesenian tradisional di daerah.  Hal ini, bisa saja  disebabkan  oleh adanya asumsi-asumsi yang dikaitkan dengan  konsep-konsep dasar pembangunan di bidang kesenian yang penekanannya dan intinya melestarikan dan mengembangkan kesenian yang bertaraf dengan kecenderungan universal.  Sehingga, kesenian-kesenian yang ada sekarang ini dapat dianggap tidak sesuai dengan objek-objek dan  tujuan dari pembangunan yang sedang dijalankannya ini.  Dengan kata lain, bahwa keaslian dari suatu kesenian dipandang belum dapat dibanggakan sebagai bukti keberhasilan suatu pembangunan di daerahnya.

Kekayaan  kesenian yang dimiliki bangsa Indonesia sangat memadai untuk dikembangkan ke dunia Internasional.  Sebagai salah satu contoh, misalnya tari Piring dari Sumatra Barat.  Tari Piring ini sesungguhnya sangat potensial untuk dikembangkan menjadi lebih modern lagi melalui kolaborasi.  Untuk menuju kepada tindakan ini harus ada upaya atau perbaikan–perbaikan yang perlu diperhatikan agar kemasan kesenian tradisional bangsa Indonesia dapat diterima dan berkembang secara global, walaupun tetap mengacu pada kekuatan nilai-nilai asli/lokal.  

5.      Fungsi Seni Rakyat dalam mengendalikan emosi

Mengapa manusia bisa marah, sedih, gembira, haru, iba, cinta dan benci? Manusia dapat merasakan semua itu karena dalam dirinya terkandung dorongan emosional. Dan situasi emosi akan muncul bila ada rangsangan dari luar, rangsangan tersebut akan membentuk suatu asosiasi dan tanggapan. Dari tanggapan inilah lalu timbul refleksi yang berupa perasaan marah, benci, sedih, kasihan, haru dan sebagainya.

Pengalaman-pengalaman individual yang terus terjadi setiap saat bisa diungkapkan lewat bahasa seni. Masalah cinta, perkawinan, kelahiran dan kematian atau rasa suka cita bisa menjadi pengalaman individu yang direkam dalam karya seni. Karena itu biasanya digunakan sebagai ekspresi diri dalam berkarya, apalagi pada seni modern yang tidak lagi kolektif sifatnya.

 

C.   Opinion Leader

1.      Pengertian opinion leader

Opinion leader (pemimpin opini) adalah orang yang mempunyai keunggulan dari masyarakat kebanyakan. Opinion leader lebih mudah menyesuaikan diri dengan masyarakatnya, lebih kompeten dan lebih tahu memelihara norma yang ada. Kemampuan dirinya memelihara norma menjadi salah satu konsekuensi logis bentuk pelayanan atau suri teladan yang diberikan atau ditunjukkan kepada masyarakatnya. Menurut Homanas, ”Seseorang yang memiliki status sosial tinggi (pemimpin pendapat) akan senantiasa memelihara nilai-nilai serta norma kelompoknya sebagai syarat minimal dalam mempertahankan statusnya.”

Opinion leader juga dapat didefinisikan Opini Public atas suatu isu berakar dari self-interest atau pada event, tetapi pada dasarnya memerlukan katalisator yaitu diskusi publik. Hanya dengan cara itu opini jadi mengkristal dan dapat diukur. Peran sebagai katalisator bagi pembentukan opini public adalah orang yang mengetahui dan mampu mengartikulasi isu secara spesifik. Orang itu disebut Opinion Leader (Pemuka Pendapat). Opinion Leader menjadi sumber informasi dan pendapat. Ia juga cakap memengaruhi orang lain secara informal.

Opinion leader merupakan sumber informasi atau opini, sedangkan followers sebagai penerima-penerima informasi atau opini (receivers). (Wiryanto, 2000:66). Para pemuka pendapat selain mempunyai kharisma dan mempunyai kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh masyarakat yang kebanyakan, hal ini yang membuatnya lekat dapat menjadi pembentuk opini yang ada dalam masyarakat. Bahwa tidak semua masyarakat dapat berperan menjadi seorang opinion leader dikarenakan tidak mudah pada kenyataannya menjadi panutan dan contoh bagi semua pihak yang ada di dalam wilayah masyarakat desa.

Jadi, Opinion leaders dapat dikatakan sebagai orang-orang berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang mampu memengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial. Dalam kenyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebaliknya, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana perilakunya (baik mendukung atau menentang) diikuti oleh para pengikutnya.

Ada dua pengelompokan opinion leader : Opinion Leader Aktif (Opinion Giving) Disini para opinion leader mencari penerima informasi atau followers secara aktif untuk mengumumkan atau mensosialisasikan suatu informasi. Opinion Leader Pasif (Opinion Seeking) Dalam hal ini followers, atau si pencari informasi lebih aktif mencari sumber informasinya kepada opinion leader, sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi.

Nurudin (2004) mengemukakan beberapa ciri Opinion Leader beserta proses komunikasi yang dijalankannya sebaga berikut:

a.       Komunikasi interpersonal mempunyai struktur jaringan yang lebih (umpamanya kerabat, keluarga besar, suku, dan sebagainya) yang sangat kuat, karena ikatan yang telah lama ada, kebiasaan-kebiasaan setempat yang telah lama tertanam, dan setiap struktur ini mempunyai pemimpin-pemimpin pendapat.

b.      Komunikasi dalam masyarakat Indonesia ditandai oleh ciri-ciri sistem komunikasi feodal. Ada garis hierarki yang ketat sebagai bawaan dari sistem sosial tradisional, pemuka pendapat sudah tentu dan mempunyai pengaruh yang jelas sementara arus komunikasi cenderung berjalan satu arah.

c.       Pemimpin pendapat dianggap telah dikenali dan dapat diketahui dengan mudah dari fungsi mereka masing-masing dalam pranata-pranata informal yang telah berakar dalam masyarakat seperti alim ulama, pemuka adat, guru swasta, atau pendidikan informal, dukun, dan sebagainya.

d.      Sejalan dengan itu jaringan komunikasi yang ada dalam masyarakat juga dengan sendirinya dianggap telah dikenali pula, yaitu jaringan yang berkaitan dengan masing-masing jenis pranata atau pemimpin pendapat tersebut, seperti jaringan atau jalur komunikasi keagamaan, adat, pendidikan formal, kesehatan tradisional, dan lain-lain sebagainya.

e.       Pemimpin pendapat tidak hanya mereka yang memegang fungsi dalam pranata informal masyarakat tetapi juga pemimpin formal, termasuk yang menempati kedudukan karena ditunjuk dari luar (pamong praja, dokter, penyuluh pertanian, dan sebagainya).

f.       Pemimpin pendapat di Indonesia dianggap bersifat polimorfik, yaitu serba tahu atau tempat menanyakan segala hal. Adanya asumsi ini terlihat dari kecenderungan untuk menyalurkan segala macam informasi (politik, pertanian, keluarga berencana, wabah, dan sebagainya) kepada para pemimpin pendapat yang sama.

g.      Pemimpin pendapat pasti akan meneruskan informasi yang diterimanya kepada pengikutnya, meskipun dengan perubahan-perubahan. Terkandung pula dalam hal ini adalah bahwa pemimpin pendapat cukup dengan jaringan pengikutnya.

Cara Mengetahui Opinion Leader. Menurut Everett M. Rogers ada tiga cara mengukur dan mengetahui adanya opinion leader yaitu :

1.        Metode Sosiometrik, dalam metode ini, masyarakat ditanya kepada siapa mereka meminta nasihat atau mencari informasi mengenai masalah kemasyarakatan yang dihadapinya. Misalnya masalah megenai penanganan gizi buruk, kepada masyarakat diajukan pertanyaan: “dari mana anda memperoleh informasi tentang penanganan gizi buruk?” jadi orang yang paling banyak mengetahui dan dimintai nasihat tentang masalah tersebut, dialah yang disebut sebagai opinion leader.

2.        Informasi Ratting, metode ini mengajukan pertanyaan tertentu kepada orang/responden yang dianggap sebagai key informants dalam masyarakat mengenai siapa yang dianggap masyarakat sebagai pemimpin mereka. Jadi dalam hal ini responden tersebut haruslah jeli dalam memilih siapa yang benar-benar harus memimpin dalam masyarakat tersebut. Dari segi kepribadian, pendidikan, serta tindakan yang dilakukannya terhadap masyarakat tersebut.

3.        Self Designing Method, metode ini mengajukan pertanyaan kepada responden dan meminta tendensi orang lain untuk menunjuk siapa yang mempunyai pengaruh. Misalnya, apakah seseorang yang memerlukan suatu informasi perlu meminta keterangan kepada ibu/bapak. Jika jawabannya tidak maka hal tersebut belum menunjukkan siapa yang sering dimintai keterangan. Hal ini sangat bergantung kepada ketepatan (akurasi) responden untuk mengindentifikasi dirinya sebagai pemimpin.

 

Karakteristik opinion leader adalah :

1.        Berpendidikan formal lebih tinggi dibanding dengan anggota masyarakat lainnya

2.        Status sosial ekonominya (SSE) lebih tinggi dari masyarakat sekitar

3.        Lebih inovatif dalam menerima dan mengambil/mengadopsi ide baru

4.        Lebih tinggi pengenalan medianya (media exposure)

5.        Memiliki empati yang lebih besar

6.        Partisipasinya lebih besar, biasanya dalam kegiatan sosial

7.        Lebih kosmopolit (mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas)

Opinion leader adalah seorang yang memiliki kelebihan atau keunggulan dari masyarakat pada umumnya, dan oleh sebab itu seorang pemuka pendapat (opinion leader) memiliki kelebihan karakter tersendiri di bandingkan orang kebanyakan. 

2.      Model arus komunikasi

Didalam pembahasan ini ada empat model arus aliran pesan, yaitu model jarum injeksi (hypodemic needle model), Model aliran satu tahap (one stop flow model), model aliran dua arah tahap (two step flow model), dan model aliran banyak tahap (multy step flow model). Yang masing-masing model tersebut memliki kelebihan dan kekurangan dalam teori serta penyampaiannya.

a)        Model Jarum Injeksi, secara substansial, model ini adalah one step flow, artinya arus komunikasi disampaikan secara satu arah saja (dari media massa kepada audience). Dasar pemikiran model ini adalah bahwa khalayak bersikap pasif terhadap berbagai macam informasi yang disebarkan/disiarkan media massa. Sebaliknya media lebih aktif untuk mempengaruhi audience. Maka teori ini disebut teori peluru (bullet theory). Jadi jika sebutir peluru tembakkan, ia akan selalu menemukan sasaran, dan sasaran yang dimaksud tersebut adalah khalayak.

b)        Model Aliran Satu Tahap, pesan model aliran satu tahap ini, media massa langsung berhubungan dengan audiencenya. Dengan kata lain, pesan yang disampaiakan mengalir tanpa ada perantara (audience bisa langsung mengaskes langsung media). Adapun perbedaan diantara keduanya adalah:

1.        Model aliran satu tahap mengakui bahwa media massa bukanlah all powerfull dan tidak semua media mempunyai kekuatan yang sama. Dan model jarum hypodermik menyakini bahwa media itu all powerfull, ibarat peluru yang ditembakkan.

2.        Aspek-aspek seleksi screening di pihak audience mempunyai impac pesan. Dengan kata lain, pesan yang diterima sangat tergantung pada sistem seleksi yang ada pada masing-masing audience.

3.        Model aliran satu tahap mempengaruhi kemungkinan timbulnya reaksi atau efek yang berbeda dikalangan audience terhadap pesan-pesan dari media yang sama. Artinya pesan media yang sama diterima beberapa audience belum tentu menimbulkan reaksi yang sama, begitu pula dengan efek yang ditimbulkan. Tetapi dalam model jarum hipodemik, bahwa pesan yang disampaikan media massa akan menimbulkan reaksi dan efek yang sama.

c)        Model Aliran Dua Tahap, dalam model ini pesan-pesan dari media massa tidak seluruhnya langsung mengenai audience, tetapi pesan tersebut disampaikan oleh pihak tertentu artinya pihak tertentu tersebut dikenal dengan opinion leader (pemimpin opini/pemuka pendapat). Ada dua tahap penyampaian pesan dalam aliran ini. Pertama pesan media pada opinion leader dan kedua pesan opinion leader pada audience.

d)       Model Aliran Banyak Tahap, pada prinsipnya model ini adalah gabungan dari semua model yang sudah disebutkan diatas. Model ini menyatakan bahwa pesan-pesan media massa menyebar kepada audience atau khalayak melalui interaksi yang kompleks.

3.      Peran Opinion leader dalam Setiap Sistem Komunikasi

Komunikasi yang terbagi menjadi empat level jika diamati akan melibatkan peran Opinion leader. Pada level interpersonal, sekalipun sangat terbatas pasti tetap ada peran Opinion leader. Begitu juga dalam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Pada komunikasi massa, Opinion leader secara langsung akan diduduki oleh pelaku komunikasi oganisasi, demikian juga komunikasi organisasi memiliki Opinion leader dari level-level dibawahnya. Hal yang mendasar yaitu bahwa Opinion leader memiliki posisi yang cukup kuat untuk mempengaruhi khalayak. Kekuatan itu dapat berasal dari faktor budaya, agama atau pengalaman.

4.      Sejarah Opinion leader

Intelektual Amerika begitu ketakutan ketika model jarum hipodermik telah mencapai sasaran secara jelas dengan implikasi munculnya Perang Dunia I yang dihembuskan oleh Adolf Hitler. Model itu dianggap sebagai cara ampuh membangkitkan “kemarahan” massa. Begitu kuat peran media dalam mempengaruhi massa. Untuk itu, Paul Lazzarfeld mengkaji kembali kapasitas media massa dalam membawakan perubahan-perubahan. Penelitian di Ery Country, Ohio, Amerika Serikat tentang “perilaku pemilih” dalam memilih presiden 1940 menunjukkan hasil yang sangat kontras. Ditemukan fakta bahwa media mempunyai peran sangat kecil dam terbatas dalam mempengaruhi perilaku pemilih. Hasil ini mematahkan model jarum hepidermik yang selama ini diakui keampuhannya.

Riset menunjukan hampir tidak ada pemungutan suara yang secara langsung dipengaruhi oleh media. Ide-ide mengalir dari radio dan barang cetakan lain kepada Opinion leader dan baru diteruskan ke audience. Disini menunjukan betapa besarnya pengaruh Opinion leader mempengaruhi masyarakat pemilih. Dari sini pula berkembang teori tentang peranan Opinion leader dalam masyrakat. Sebelumnya kata Opinion leader disebut dengan istilah influentials, influencers atau tastemakers. Kata Opinion leader kemudian lebih lekat dengan masyarakat pedesaan karena tingkat media exposure-nya yang masih rendah dan tingkat pendidikan yang masih standar.  Akses media lebih dimungkinkan dari mereka yang mempunyai tingkat pemahaman tinggi dan kebutuhan akan media tidak rendah. Secara tidak langsung menjadi perantara berbagai informasi yang diterimanya dan diteruskan kepada masyarakat. Opinion leader sering terkena media exposure di masyarakat desa dan mereka sangat dipercaya untuk menjadi panutan bagi masyarakatnya. 

5.      Monomorfik dan Poliomorfik Opinion leader

Merton membagi pemuka pendapat atau opinon leader menjadi dua berdasarkan penguasaan materinya, yaitu:

1)        Monomorfik, yaitu jika Opinion leader hanya menguasai satu permasalahan saja, pemimpin seperti ini hanya mampu mengatasi satu permasalahan yang ada di masyarakat.

2)        Polimorfik, yaitu jika Opinion leader menguasai lebih dari satu permasalahan, pemimpin yang mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada di masyarakat.

Opinion leader yang ada di pedesaan sangat sulit dijumpai seseorang yang hanya menguasai satu permasalahan saja, jadi kepemimpinan ini polimorfik. Ini sangat dimungkinkan terjadi karena di desa jarang ada diferensiasi atas jabatan dan pekerjaan.

6.      Opinion leader dalam Sistem Komunikasi

Opinion leader merupakan salah satu unsur yang sangat mempengaruhi arus komunikasi, khususnya di pedesaan. Berbagai perubahan dan kemajuan masyarakat sangat ditentukan oleh peran opinion leader. Ketidakmampuan dalam mempengaruhi opinion leader pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap program yang sedang dijalankan. Meskipun diakui tetua kampung atau opinion leader bukanlah manusia yang serba super dan tahu segalanya, tetapi kelebihannya adalah bahwa mereka dianggap orang yang lebih peka dan in group serta tahu adat kebiasaan masyarakat. Mereka mempunyai jiwa sosial yang tinggi yang setiap saat membantu perubahan sosial di lingkungannya.

Opinion leader juga lebih mempunyai gradasi hemofili yang lebih baik dengan pihak lain. Homofili adalah suatu tingkat dimana pasangan individu yang berinteraksi sepadan dalam hal tertentu, seperti kepercayaan, nilai-nilai, pendidikan atau status sosial. Jika homofili dalam sistem sosial itu tinggi, maka komunikasi akan mudah dilaksanakan. Di desa, warga masyarakat akan lebih cenderung berkomunikasi dengan mereka yang berasal dari tingkat kesenjangan pendidikannya tidak terlalu tinggi. Seperti halnya yang diakui Everett M. Rogers dan Shoemaker bahwa orang-orang yang paling tinggi status sosialnya (termasuk masalah pendidikan) dalam sistem sosial jarang sekali berinteraksi langsung dengan orang-orang yang paling rendah status sosialnya. Hasil penelitian Van de Ban di Belanda menemukan fakta bahwa apa yang dilakukan oleh opinion leader cenderung diikuti masyarakat. Opinion leader jelas sangat berpengaruh pada proses komunikasi disebabkan ciri, perilaku, dan kebiasaan yang melekat pada dirinya. Tentunya arus informasi masyarakat desa jelas sangat tergantung pada peran opinion leader tersebut.

7.      Opinion leader di Indonesia

Model-model arus informasi yang lebih mendekati untuk membahas opinion leader ini adalah model two steps flow. Media massa tidak langsung mengenai audience tetapi melalui pemimpin opininya dan kemudian pemimpin itu meneruskan informasi tersebut kepada pengikutnya. Seiring jalannya waktu, peran opinion leader semakin pudar dengan tingkat perkembangan media massa yang kian pesat dang tingkat “melek huruf” masyarakat meningkat. Opinion leader memang masih mempunyai pengaruh yang kuat dalam  mempengaruhi sikap dan perilaku pengikutnya, namun pengikutnya sering menentukan sikap dan perilakunya sendiri.

Media massa tidak lagi menjadi monopoli opinion leader saja, tapi masyarakat mempunyai kesempatan untuk menikmati media massa. Terpaan langsung yang diterima inilah yang nantinya akan ikut menentukan perilaku mereka. Model multitahap dalam perkembangannya bisa dijadikan model untuk menganalisis opinion leader. Tapi bagi yang tingkat “melek huruf” belum memadai model two steps flow masih relevan, namun bisa tidak relevan karena kadang pemimpin opini yang berada jauh di pelosok desa sama-sama tidak bisa mengakses media massa. Opinion leader adalah seseorang yang relatif dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain untuk bertindak dalam cara tertentu secara informal. Mereka mempunyai pengaruh dalam proses penyebaran inovasi, bisa mempercepat diterimanya inovasi dan menghambat tersebarnya inovasi ke dalam sistem masyarakat.

8.      Opinion leader Dalam Kehidupan Politik

Dalam kehidupan politik, opinion leader adalah mereka yang mempunyai otoritas tinggi dan menentukan sikap dan perilaku pengikutnya. Hal ini disebabkan karena kewibawaan, ketundukan, kharisma dan mitos yang melekat padanya atau karena pengetahuan serta pengalaman yang melekat padanya. Contoh opinion leader dalam politik misalnya, Megawati (Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan Gus Dur (Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa).

Dikarenakan kedua orang itu bisa menentukan sikap dan perilaku pengikutnya pada gambar atau tokoh siapa aspirasi politik warga masing-masing harus menentukan pilihannya. Megawati bisa “memaksa” pengikutnya untuk memilih PDI-P apapun yang terjadi pada partai itu, dan Gus Dur bisa “menentukan” pengikutnya untuk terus mendukung dirinya di PKB. Berikut beberapa alasan yang mendorong mengapa Megawati dan Gus Dur dianggap opinion leader dalam politik :

1.        Mereka menjadi panutan pengikutnya dengan ketundukan irrasional. Artinya apa yang dilakukan kedua pemimpin itu, baik atau buruk, cenderung diikuti pengikutnya karena didasarkan pada kepemimpinan kharismatik.

2.        Mereka ikut menentukan apa yang harus dilakukan para pengikutnya. Jika mereka bilang massa harus bergerak ke kiri, mereka akan begerak ke kiri. Jika mereka bilang tidak, maka pengikutnya pun akan bilang tidak pula.

3.        Mereka mengukuhkan bahwa media massa punya pengaruh yang sangat kecil di dalam mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakatnya karena peran opinion leader mereka. Walaupun terpaan media terus menerus dengan menolak ide mereka, tetapi pengikut mereka lebih memilih mematuhi segala kehendak pemimpinnya dengan mencari informasi pembenaran untuk mendukung dan mematuhi pendapat opinion leadernya.

Hubungan antara opinion leader dalam politik dengan masyarakat Indonesia adalah:

1.        Opinion leader sangat berpengaruh di dalam mempengaruhi proses kebijakan politik di Indonesia. Misalnya beberapa kiai di desa-desa sangat menentukan tanda gambar apa yang dipilih oleh warga desa di daerah tersebut. Hal ini terjadi karena kiai memilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP), bukan mustahil pengikutnya juga akan memilih partai itu. Apalagi jika sang kiai selalu memakai ayat-ayat suci untuk melegitimasi pilihannya.

2.        Opinion leader ini juga bisa menolak kebijakan pemerintah. Di era Orba, pemerintah gencar untuk kampanye Golkar yang merupakan satu-satunya partai penguasa yang disponsori pemerintah. Dengan memakai sistem floating mass nyaris setiap daerah diharuskan memilih Golkar. Misalnya peran K.H Alawy Muhammad di Madura yang mendukung PPP, perilaku kiai ini jelas menolak kebijakan pemerintah yang memaksa masyarakat untuk memilih Golkar.

3.        Opinion leader tidak boleh dipandang sebelah mata agar berbagai keinginan pemerintah bisa berhasil. Keberhasilan pemerintah tidak lain atas dukungan Opinion leader juga, karena kunci utama keberhasilan program pemerintah terutama di desa-desa terletak juga di pundak opinion leader tadi.

9.      Opinion Leader Dalam Kehidupan Sosial

Peran opinion leader dalam kehidupan sosial dapat tercermin dalam suskes tidaknya program Keluarga Berencana (KB) yang dikampanyekan pemerintah tahun 70-an. Kesuksesan program ini tidak lepas dari peranan opinion leader yang mendukung. Misalnya sebuah kantor Kepala Desa di Bantul, Yogyakarta secara terang-terangan ditulis bahwa para kiai dan tokoh masyarakat lain mendukung dan menghalalkan  gerakan program KB pemerintah. Ini bisa dilihat dari penurunan angka kelahiran rata-rata penduduk di Indonesia. Periode 1961-1971 pertumbuhan penduduk sebesar 2,1%, periode 1971-1980 sebesar 2,32% dan periode 1980-1990 menjadi 1,98% (Masri Singarimbun, 1996:3). Meskipun Masri Singarimbun tidak menyebutkan secara eksplisit apa yang mempengaruhi penurunan angka tersebut, namun dalam hal ini opinion leader tidak bisa dianggap remeh dalam hal mempengaruhinya.

Opinion leader menjadi faktor utama berhasil tidaknya penurunan angka kelahiran yang menjadi salah satu program KB. Jika program tersebut tidak mendapat dukungan dari opinion leader, sekuat apapun keinginan pemerintah dengan cara apapun masyarakat tentu menganggap KB merupakan program baru yang justru membatasi anak. Padahal di desa berkembang filsafat hidup yaitu banyak anak banyak rezeki.

10.    Masa Depan Opinion Leader di Indonesia

Beberapa poin penting yang akan menjadi pertanyaan kita kemudian adalah bagaimana masa depan kepemimpinian opinion leader di Indonesia, yaitu :

1.      Masuknya teknologi komunikasi di pedesaan telah menyebabkan munculnya jarak sosial antara opinion leader dengan masyarakatnya. Masuknya teknologi baru membutuhkan keahlian dan pengetahuan baru yang biasanya dikuasai oleh kaum muda, sehingga peran opinion leader lambat laun akan cepat berkurang. Dahulu dalam bercocok tanam masyarakat biasa meminta nasihat kepada opinion leader, namun sejak adanya teknologi masyarakat mengalihkan kepercayaan pada teknologi tersebut.

2.      Dengan masuknya teknologi komunikasi pula, hubungan intim yang selama ini terbina antara opinion leader dengan masyarakat atau antara masyarakat itu sendiri mulai berkurang. Misalnya acara pengajian, penyebarluasan informasi yang biasa dilakukan secara tatap muka sudah bisa didapatkan lewat saluran komunikasi massa. Bisa dinikmati lewat televisi dan radio, jelas ini akan mengurangi hubungan intim antara satu dan yang lainnya. Dampaknya, peran opinion leader akan semakin berkurang atau bahkan semakin ditinggalkan untuk menjawab berbagai persoalan.

3.      Teknologi yang masuk ke desa telah mengubah muatan penting dalam komunikasi. Sebelum teknologi masuk, hubungan antara masyarakat didasarkan pada perasaan memiliki dan rela berkorban, namun setelah teknologi masuk mengubah pola komunikasi tersebut menjadi lebih didasarkan pada suasana saling menguntungkan. Sebab, teknologi komunikasi mengubah budaya masyarakat menjadi lebih konsumtif. Tak tertutup kemungkinan hubungan antara opinion leader dengan masyarakat didasarkan pada usaha mencari keuntungan. Misalnya, opinion leader yang mau memberikan nasihatnya dengan diikuti imbalan materi.

4.      Meskipun terancam keberadaannya, baik yang disebabkan oleh tingkat pendidikan masyarakat yang kian meningkat atau masuknya teknologi komunikasi, opinion leader di Indonesia masih sangat berperan dalam mempengaruhi sikap dan perilaku pengikutnya di desa. Opinion leader tidak hanya bisa memberikan pengaruh dalam hal yang sedang dihadapi masyarakat desa, tetapi juga bisa mempengaruhi sikap dan perilaku memilih dalam politik dan tidak sedikit pula yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Muis. 1984. Communicating New Ideas to Traditional Villagers: an Indonesian   Case. Media Asia 11.

Amri Jahi. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia.

Aryanti, Y, N, 2012. Peranan Opinion Leader Dalam Meningkatkan Peran Politik Masyarakat Perdesaan dalam Pembangunan.

Fischer, Joseph. 1994. The Folk Art of Java. Singapore-New York : Oxford Uni-versity Press.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.

Nurudin. 2004.  Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Ranganath. 1976. Telling the People Tell Themselves. Media Asia 3.

Rogers, Everett M. 1992. Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis. Jakarta  : LP3ES.

Sumadi, Dilla. 2007. Komunikasi Pembangunan Pendekatan Terpadu. Bandung :  Simbiosa Media Rekatama.

Sutardi, Tedi. 2006. Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung : PT Grafindo Media Pratama.

Umar Kayam. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.

Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : PT. Grasindo.