Pengantar Sosiologi
Di susun untuk memenuhi
tugas mata kuliah
Pengantar Antropologi Sosial Budaya
Disusun
oleh :
Suci Rahmawati (201311011)
PROGRAM STUDI
ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SURAKARTA
2013
Judul Buku :
Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi)
Pengarang :
Kamanto Sunarto
Penerbit :
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Tahun Terbit :
2004
Jumlah Hal :
x + 266 hal
ISBN :
979-8140-30-3
BAB 1
Sejarah Perkembangan Sosiologi
SEBAB
MUNCULNYA SOSIOLOGI
Menurut Peter
Berger pemikiran sosiologi berkembang manakala masyarakat menghadapi ancaman
terhadap hal yang selama ini dianggap sebagai hal yang memang sudah seharusnya
demikian, benar, nyata-menghadapi apa yang oleh Berger disebut threats to the taken-for-granted world
(lihat Berger, 1981:30). Manakala hal yang selama ini menjadi pegangan manusia
mengalami krisis, maka mulailah orang melakukan renungan sosiologi.
Menurut Berger
salah satu hal yang dianggap sebagai ancaman terhadap hal yang oleh masyarakat
telah diterima sebagai kenyataan ataupun kebenaran ialah disintregrasi kesatuan
masyarakat abad pertengahan, khususnya disintregrasi dalam agama Kristen.
PARA
PERINTIS SOSIOLOGI
Para
pemuka pemikiran sosiologi terdiri atas sejumlah tokoh klasik ialah Saint-Simon,
Comte, Spencer, Durkheim, Weber, Marx, dan tokoh modern seperti Sorokin, Mead,
Cooley, Simmel, Goffman, Homans, Thibaut dan Kelly, Blau, Parsons, Merton,
Mills, Dahrendorf, Coser, dan Collins.
Antara
pemikiran para perintis awal dan pemikiran para tokoh sosiologi masa kini
terdapat suatu kesinambungan. Sebagian besar konsep dan teori sosiologi masa
kini berakar pada sumbangan pikiran para tokoh klasik. Para ahli cenderung
sepaham bahwa Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Karl Marx dan Max
Weber merupakan perintis sosiologi.
Auguste
Comte (1798-1857)
Dalam sosiologi,
tokoh yang sering dianggap sebagai Bapak ialah Auguste Comte. Nama “sosiologi”
merupakan hasil ciptaan Comte. Yang merupakan suatu gabungan antara kata Romawi
socius dan kata Yunani logos. Comte pun dianggap sebagai
perintis positivisme. Sumbangan pikiran penting lain yang diberikan Comte ialah
pembagian sosiologi ke dalam dua bagian besar: statika sosial (social statics) dan dinamika sosial (social dynamics).
Karl
Marx (1818-1883)
Sumbangan utama
Marx bagi sosiologi terletak pada teorinya mengenai kelas. Menurut Marx
perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang
berbeda: kaum borjuis (bourgeouisie)
dan kaum proletar. Menurut ramalan Marx konflik yang berlangsung antara kedua
kelas akan dimenangkan oleh kaum proletar, yang kemudian akan mendirikan suatu
masyarakat tanpa kelas.
Emile
Durkheim (1858-1917)
Buku The Division of Labor in Society (1968)
merupakan suatu upaya Durkheim untuk memahami fungsi pembagian kerja dalam
masyarakat, serta untuk mengetahui faktor penyebabnya. Durkheim melihat bahwa
setiap masyarakat manusia memerlukan solidaritas. Ia membedakan antara dua tipe
utama solidaritas: solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Lambat laun
pembagian kerja dalam masyarakat semakin berkembang sehingga solidaritas
mekanik berubah menjadi solidaritas organik.
Dalam buku Rules of Sociological Method (1965)
Durkheim menawarkan definisinya mengenai sosiologi. Menurut Durkheim, bidang
yang harus dipelajari sosiologi ialah fakta sosial, yaitu “fakta yang berisikan
cara bertindak, berpikir dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut”.
(Abdullah dan v.d. Leeden, 1986:30).
Buku Suicide (1968) merupakan upaya Durkheim
untuk menerapkan metode yang telah dirintisnya dalam Rules of Sociological Method untuk menjelaskan angka bunuh diri.
Usaha untuk menjelaskan angka bunuh diri itu dilakukannya dengan mengumpulkan
dan menganalisis data kuantitatif.
Max
Weber (1864-1920)
Weber merupakan
seorang ilmuwan yang sangat produktif dan menulis sejumlah buku dan makalah.
Salah satu bukunya yang terkenal ialah The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904). Dalam buku ini ia
mengemukakan tesisnya yang terkenal mengenai keterkaitan antara Etika Protestan
dengan munculnya kapitalisme di Eropa Barat.
Sumbangan Weber
yang tidak kalah pentingnya ialah kajiannya mengenai konsep dasar dalam
sosiologi (lihat Weber, 1964). Dalam uraiannya Weber menyebutkan pula bahwa
sosiologi ialah ilmu yang berupaya memahami tindakan sosial.
BAB 2
Pokok-pokok Bahasan Sosiologi
PANDANGAN
PARA PERINTIS
Emile
Durkheim: Fakta Sosial
Durkheim
berpendapat bahwa sosiologi ialah suatu ilmu yang mempelajari fakta sosial (fait social). Menurut Durkheim fakta
sosial merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar
individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya (Durkheim,
1965:3-4).
Max
Weber: Tindakan Sosial
Bagi Weber
sosiologi ialah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial, yaitu tindakan
yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi
pada perilaku orang lain. Karena sosiologi bertujuan memahami (Verstehen)
mengapa tindakan sosial mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap
tindakan mempunyai makna subjektif bagi pelakunya, maka ahli sosiologi harus
dapat membayangkan dirinya di tempat pelaku untuk dapat ikut menghayati
pengalamannya (Weber, 1964:90).
PANDANGAN
AHLI SOSIOLOGI MASA KINI
C.
Wright Mills: The Sociological Imagination
C.Wright Mills,
berpandangan bahwa manusia memerlukan imajinasi sosiologi (sociological imagination) untuk dapat memahami sejarah masyarakat,
riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya (Mills, 1968:6). Untuk
melakukan khayalan sosiologi tersebut diperlukan dua peralatan pokok: apa yang
dinamakannya personal troubles of milieu dan public issues of social structure (Mills,
1968:8).
Peter
Berger
Berger mengajukan
berbagai citra yang melekat pada ahli sosiologi (lihat Berger, 1978:11-36).
Citra pertama, menurut Berger, ialah bahwa seorang ahli sosiologi ialah
seseorang yang suka bekerja dengan orang lain, menolong orang lain, melakukan
sesuatu untuk orang lain. Citra berikut ialah bahwa ahli sosiologi adalah
seorang teoretikus di bidang pekerjaan sosial. Citra lain menggambarkan ahli
sosiologi sebagai seorang yang melakukan reformasi sosial-seorang perekayasa
sosial. Citra lain menyajikan ahli sosiologi sebagai seseorang yang
pekerjaannya mengumpulkan data statistik mengenai perilaku manusia. Dalam
gambaran lain, ahli sosiologi dianggap orang yang mencurahkan perhatiannya pada
pengembangan metodologi ilmiah untuk dipakai dalam memelajari fenomena manusia.
Citra terakhir memandang ahli sosiologi sebagai seorang pengamat yang
memelihara jarak-seseorang manipulator manusia. Berger mengemukakan bahwa
berbagai citra yang dianut orang tersebut tidak tepat, keliru, dan menyesatkan.
Menurut Berger,
seorang ahli sosiologi bertujuan memahami masyarakat. Tujuannya bersifat
teoretis, yaitu memahami semata-mata. Berger berpendapat bahwa daya tarik
sosiologi terletak pada kenyataan bahwa sudut pandang sosiologi memungkinkan
kita untuk memperoleh gambaran lain mengenai dunia yang telah kita tempati
sepanjang hidup kita (1978:33).
Suatu konsep lain
yang disoroti Berger ialah konsep “masalah sosiologi” (sociological problem). Menurut Berger suatu masalah sosiologi tidak
sama dengan suatu masalah sosial. Masalah sosiologi, menurut Berger, menyangkut
pemahaman terhadap interaksi sosial (Berger, 1978:49).
PEMBAGIAN
SOSIOLOGI: MAKROSOSIOLOGI, MESOSOSIOLOGI, DAN MIKROSOSIOLOGI
Sejumlah ahli
sosiologi mengklasifikasikan pokok bahasan sosiologi ke dalam dua bagian; ada
pula yang membagi ke dalam tiga bagian. Broom dan Selznick (1977) membedakan
antara tatanan makro dan tatanan mikro; Jack Douglas (1973) membedakan antara
perspektif makrososial dan perspektif mikrososial; Doyle Paul Johnson (1981)
membedakan antara jenjang makro dan jenjang mikro; dan Randall Collins (1981)
membedakan antara makrososiologi dan mikrososiologi. Gerhard Lenski (1985)
mengemukakan bahwa dalam sosiologi terdapat tiga jenjang analisis:
mikrososiologi, mesososiologi, dan makrososiologi. Inkeles (1965) pun melihat
bahwa sosiologi mempunyai tiga pokok bahasan yang khas: hubungan sosial,
institusi, dan masyarakat.
Menurut Lenski,
makrososiologi ialah bagian sosiologi yang mempelajari ciri masyarakat secara menyeluruh
serta sistem masyarakat dunia. Mesososiologi ialah bagian sosiologi yang
tertarik pada institusi khas dalam masyarakat. Mikrososiologi ialah yang
mempelajari dampak sistem sosial dan kelompok primer pada individu.
BAB 3
Sosialisasi
Menurut Peter
Berger (1978) manusia merupakan makhluk tak berdaya karena dilengkapi dengan
naluri yang relatif tidak lengkap. Oleh sebab itu manusia kemudian
mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri.
Berger
mendefinisikan sosialisasi sebagai proses melalui mana seorang anak belajar
menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger,
1978:116).
Menurut Berger dan
beberapa ahli sosiologi berpendapat bahwa yang diajarkan melalui sosialisasi
ialah peran-peran. Oleh sebab itu teori sosialisasi sejumlah tokoh sosiologi
merupakan teori mengenai peran (role
theory).
PEMIKIRAN
MEAD
Dalam teori Mead
manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat
lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized
other.
Mead berpandangan
bahwa setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada
dalam masyarakat-suatu proses yang dinamakannya pengambilan peran (role taking). Dalam proses ini seseorang
belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankannya serta peran yang harus
dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini
seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
PEMIKIRAN
COOLEY
Menurut Cooley
konsep diri (self-concept) seseorang
berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui
interaksi dengan orang lain ini oleh Cooley diberi nama looking-glass self, yang menurutnya terbentuk melalui tiga tahap.
Seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya,
persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya, dan perasaan
terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya.
Karena kemampuan
seseorang untuk mempunyai diri-untuk berperan sebagai anggota masyarakat
tergantung pada sosialisasi. Oleh karena itu seseorang yang tidak mengalami
sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain.
AGEN
SOSIALISASI
Dalam sosiologi
kita berbicara mengenai agen-agen sosialisasi (agents of socialization). Fuller dan Jacobs (1973:168-208)
mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain,
media massa, dan sistem pendidikan.
KESEPADANAN
PESAN AGEN SOSIALISASI BERLAINAN
Pesan-pesan yang disampaikan
oleh agen sosialisasi yang berlainan tidak selamanya sepadan satu dengan yang
lain. Apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi dalam
masyarakat sepadan dan tidak saling bertentangan melainkan saling mendukung
maka proses sosialisasi diharapkan dapat berjalan relatif lancar. Namun apabila
pesan berbagai agen sosialisasi saling bertentangan maka warga masyarakat yang
menjalani proses sosialisasi sering mengalami konflik pribadi, karena
diombang-ambingkan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
SOSIALISASI
PRIMER DAN SEKUNDER
Sosialisasi
merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan
inilah para ahli berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti
sosialisasi setelah masa kanak-kanak, pendidikan sepanjang hidup, atau
pendidikan berkesinambungan. Light et al. (1989:130).
Setelah sosialisasi
dini yang dinamakannya sosialisasi primer kita menjumpai sosialisasi sekunder.
Sosialisasi antisipatoris merupakan suatu bentuk sosialisasi sekunder yang
mempersiapkan seseorang untuk peran yang baru.
Salah satu bentuk
sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang
dinamakan proses resosialisasi yang didahului dengan proses desosialisasi.
Kedua proses ini sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dalam
institusi total. Suatu bentuk desosialisasi dan resosialisasi yang banyak
dibahas di kalangan ilmuwan sosial ialah praktek cuci otak.
POLA
SOSIALISASI
Jaeger (1977)
membedakan dua pola sosialisasi, yaitu sosialisasi represif (repressive socialization) dan
sosialisasi partisipatoris (participatory
socialization). Menurutnya sosialisasi represif menekankan pada penggunaan
hukuman terhadap kesalahan. Sosialisasi partisipatoris, di pihak lain,
merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala ia berperilaku
baik.
BAB 4
Interaksi Sosial
INTERAKSI
SOSIAL
Sejumlah ahli
sosiologi mengkhususkan diri pada studi terhadap interaksi sosial. Ini sesuai
dengan pandangan ahli sosiologi seperti Max Weber bahwa pokok pembahasan
sosiologi ialah tindakan sosial.
INTERAKSIONISME
SIMBOLIK
Diantara berbagai
pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai
pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik (symbolic interactionism). Pendekatan
ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead.
Simbol merupakan
sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang
mempergunakannya. Makna suatu simbol, menurut White, hanya dapat ditangkap
melalui cara non-sensoris; melalui cara simbolik.
Menurut Herbert
Blumer, pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga. Pertama: manusia
bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut
baginya. Kedua: makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari
interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Ketiga: makna diperlakukan
atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi
sesuatu yang dijumpainya.
DEFINISI
SITUASI
W. I. Thomas (1968)
mengatakan bahwa seseorang tidak segera memberikan reaksi manakala ia mendapat
rangsangan dari luar, tetapi tindakan seseorang selalu didahului suatu tahap
penilaian dan pertimbangan; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang
dinamakannya definisi atau penafsiran situasi.
Thomas terkenal
karena ungkapannya bahwa bila orang mendefinisikan situasi sebagai hal yang
nyata, maka konsekuensinya nyata. Yang dimaksudkannya di sini ialah bahwa
definisi situasi yang dibuat orang akan membawa konsekuensi nyata. Thomas
membedakan antara dua macam definisi situasi: definisi situasi yang dibuat
secara spontan oleh individu, dan definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat.
Thomas melihat adanya persaingan antara kedua macam definisi situasi tersebut.
ATURAN
YANG MENGATUR INTERAKSI
Dalam bukunya The Hidden Dimension (1982) Hall
mengemukakan bahwa dalam interaksi dijumpai aturan tertentu dalam hal
penggunaan ruang. Dari penelitiannya Hall menyimpulkan bahwa dalam situasi
sosial orang cenderung menggunakan empat macam jarak: jarak intim, jarak
pribadi, jarak sosial, dan jarak publik.
KOMUNIKASI
NONVERBAL
Suatu hal penting
yang dikemukakan Hall ialah bahwa dalam interaksi orang lain membaca perilaku
kita-bukan kata kita (lihat Hall, 1981:14). Ini penting untuk diperhatikan,
karena dalam interaksi kita tidak hanya memperhatikan apa yang dikatakan orang
lain tetapi juga apa yang dilakukannya.
INTERAKSI
DAN INFORMASI
Karp dan Yoels
(1979) mengemukakan bahwa untuk dapat berinteraksi, untuk dapat mengambil peran
orang lain seseorang perlu mempunyai informasi mengenai orang yang berada di
hadapannya. Manakala ia asing bagi kita karena kita tidak mengetahui riwayat
hidupnya dan atau tidak tahu kebudayaannya maka interaksi sukar dilakukan.
Menurut Karp dan Yoels orang mencari informasi mengenai orang yang dihadapinya
dengan mengamati ciri fisik yang diwarisi sejak lahir sepeti jenis kelamin,
usia, dan ras, serta penampilan-daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan
berbusana, dan percakapan.
GOFFMAN
DAN PRINSIP DRAMATURGI
Menurut Goffman
dalam suatu perjumpaan masing-masing pihak membuat pernyataan dan pihak lain
memperoleh kuasa. Goffman membedakan dua macam pernyataan: pernyataan yang
diberikan, dan pernyataan yang dilepaskan. Menurut Goffman dalam proses ini
masing-masing pihak akan berusaha mendefinisikan situasi dengan jalan melakukan
pengaturan kesan.
DARI
BERJUMPA SAMPAI BERPISAH
Knapp membahas
berbagai tahap yang dapat dicapai dalam interaksi. Tahap interaksi yang
disebutkannya dapat kita bagi dalam dua kelompok besar-tahap yang mendekatkan
peserta interaksi dan tahap yang menjauhkan mereka.
BAB 5
Tatanan Sosial dan Pengendalian Sosial
POKOK
PEMBAHASAN MAKROSOSIOLOGI
Makrososiologi
menggunakan sudut pandangan struktural, sudut pandangan klasik Durkheim
(Douglas, 1973). Perumusan Durkheim mengenai pokok pembahasan sosiologi
menunjukkan bahwa pokok perhatian sosiologi ialah tatanan meso dan mikro,
karena fakta sosial mengacu pada institusi yang mengendalikan individu dalam
masyarakat. Durkheim berpandangan bahwa sosiologi ialah ilmu masyarakat dan
mempelajari institusi (Inkeles, 1965).
STRUKTUR
SOSIAL
George C. Homans
mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial
sehari-hari. Lenski berbicara mengenai struktur masyarakat yang diarahkan oleh
kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Di kala Talcott Parsons
berbicara mengenai struktur ia berbicara mengenai kesalingketerkaitan antara
institusi, bukan kesalingketerkaitan antar manusia. Coleman melihat struktur
sebagai pola hubungan antarmanusia dan antarkelompok manusia (lihat Blau,
1975).
Dalam membahas
struktur sosial, Linton menggunakan dua konsep penting: status (status) dan peran (role). Tipologi lain yang juga dipopulerkan Linton (1968:360) ialah
pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
Merton (1965)
memperkenalkan konsep perangkat peran (role-set),
yang didefinisikannya sebagai pelengkap hubungan peran yang dipunyai konsep
perangkat peran ini menurut Merton berbeda dengan konsep peran majemuk (multiple roles), yang menurutnya mengacu
pada suatu perangkat peran yang terkait dengan berbagai status yang dipunyai
individu.
INSTITUSI
SOSIAL
Durkheim
mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari institusi. Dalam bahasa Indonesia
dijumpai terjemahan berlainan dari konsep institution.
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi (1964), menggunakan istilah “lembaga
kemasyarakatan” sebagai terjemahan konsep social
institution. Koentjaraningrat, Mely G. Tan dan Harsja W. Bachtar menggunaka
istilah “pranata”.
Sebagaimana halnya
dengan konsep lain, maka mengenai konsep institusi pun dijumpai berbagai
definisi. Kornblum (1988:60), institusi ialah suatu struktur status dan peran
yang diarahkan ke pemenuhan keperluan dasar anggota masyarakat.
MASYARAKAT
Dari berbagai
definisi telah kita lihat bahwa makrososiologi mempelajari masyarakat. Menurut
Talcott Parsons (1968), masyarakat ialah
suatu sistem sosial yang swasembada melebihi masa hidup individu normal, dan
merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi
terhadap generasi berikutnya. Edward Shills, pun menekankan pada aspek
pemenuhan keperluan sendiri yang dibaginya dalam tiga komponen: pengaturan
diri, reproduksi sendiri, dan penciptaan diri.
PENGENDALIAN
SOSIAL
Berger (1978:83-84)
mendefinisikan pengendalian sosial sebagai berbagai cara yang digunakan
masyarakat untuk menertibkan anggota yang membangkang. Roucek (1965),
mengemukakan bahwa pengendalian sosial adalah suatu istilah kolektif yang
mengacu pada proses terencana maupun tidak melalui mana individu diajarkan,
dibujuk ataupun dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan dan nilai hidup
kelompok.
Menurut Berger cara
pengendalian sosial terakhir dan tertua ialah paksaan fisik. Berger
mengemukakan bahwa semua orang hidup dalam situasi dalam mana kekerasan fisik
dapat digunakan secara resmi dan secara sah manakala semua cara paksaan lain
gagal (1978:86). Ia pun menyebutkan sejumlah mekanisme lain yang digunakan
masyarakat untuk mengendalikan anggotanya, yaitu membujuk, memperolok-olokkan,
mendesas-desuskan, mempermalukan, dan mengkucilkan (lihat Berger, 1978:87-92).
Berger berpendapat
bahwa setiap individu dalam masyarakat berada di pusat seperangkat lingkaran
konsentris yang masing-masing mewakili suatu sistem pengendalian sosial
(1978:93). Menurut Berger (1978:101) hidup kita tidak hanya dikuasai oleh orang
yang hidup masa kini tetapi juga oleh mereka yang telah meninggal selama
berabad-abad.
Roucek berpendapat
bahwa pengendalian sosial dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara.
Menurutnya ada pengendalian sosial yang dijalankan secara institusi, dan ada
yang tidak; ada yang bersifat formal dan ada yang informal; dll.
BAB 6
Institusi Sosial
INSTITUSI
KELUARGA
Tipe
Keluarga
Dalam sosiologi
keluarga biasanya dikenal perbedaan antara keluarga bersistem konsanguinal dan
keluarga bersistem konjugal (lihat Clayton, 1979:49), antara keluarga orientasi
dan keluarga prokreasi, dan antara keluarga batih dan keluarga luas. Kita mengenal
beberapa tipe keluarga luas, seperti joint
family, dan keluarga luas virilokal.
Aturan
Mengenai Perkawinan
Setiap masyarakat
mengenal berbagai aturan mengenai perkawinan. Satu aturan yang dijumpai dalam
semua masyarakat mengenai siapa yang boleh dan tidak boleh dinikah. Salah satu
diantaranya ialah incest taboo
(larangan hubungan sumbang), yang melarang hubungan perkawinan dengan keluarga
yang sangat dekat.
Bentuk
Perkawinan
Pada dasarnya kita
mengenal dua macam bentuk perkawinan: monogami dan poligami. Poligami dibagi
lagi dalam bentuk perkawinan poligini, poliandri, dan perkawinan kelompok. Kita
pun mengenal bentuk poligini khusus yang dinamakan poligini sororal (lihat
Clayton, 1979:55). Aturan lain yang berlaku dalam hubungan perkawinan ialah
eksogami dan endogami.
Aturan
Mengenai Keturunan
Dalam hal penarikan
garis keturunan kita mengenal aturan patrilineal,
bilateral, matrilineal, dan keturunan rangkap (lihat Calyton, 1979). Pola
menetap berbeda-beda, yaitu pola patrilokal, pola matri-patrilokal, pola
bilokal, pola neolokal, serta pola avunculokal (lihat Clayton, 1979:67-68).
Fungsi
Keluarga
Para ilmuwan sosial
ahli sosiologi mengidentifikasikan berbagai fungsi. Yang terpenting di
antaranya adalah fungsi pengaturan seks, reproduksi, sosialisasi, afeksi,
definisi status, perlindungan dan ekonomi (lihat Horton dan Hunt,
1984:238-242).
Bertemu
dan Berpisah Dalam Keluarga
Ikatan perkawinan
kadangkala berakhir dengan perpisahan atau bahkan perceraian. Peningkatan angka
perceraian dalam masyarakat pun membawa peningkatan gaya hidup khas keluarga
bercerai.
Berkembangnya
Gaya Hidup Baru
Dalam berbagai
masyarakat Barat kini telah berkembang gaya hidup yang menyimpang dari pola
kehidupan perkawinan dan hidup berkeluarga yang semula berlaku yaitu hidup
bersama di luar nikah, keluarga orang tua homoseks, dan hidup membujang.
Kekerasan
Dalam Keluarga
Keluarga bukan
hanya berfungsi menyalurkan perasaan anggota keluarga, namun sering menjadi
ajang pelampiasan nafsu, seperti kekerasan dalam keluarga.
INSTITUSI
PENDIDIKAN
Pokok
Bahasan Sosiologi Pendidikan
Pendidikan
merupakan institusi yang juga mendapat perhatian besar dari para ahli
sosiologi. Pokok bahasan utama dalam sosiologi pendidikan ialah institusi
pendidikan formal. Para ahli sosiologi pendidikan membagi pokok bahasan mereka
menjadi sosiologi pendidikan makro, meso, dan mikro.
Fungsi
Pendidikan
Institusi
pendidikan dikaitkan dengan berbagai fungsi. Dalam kaitan ini ada ahli
sosiologi yang membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi
manifes adalah fungsi yang tercantum dalam kurikulum sekolah.
INSTITUSI
DI BIDANG AGAMA
Agama merupakan
suatu institusi penting yang mengatur kehidupan manusia. Menurut definisi
Durkheim, agama ialah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, dan bahwa kepercayaan dan
praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu
komunitas moral yang dinamakan umat (lihat Durkheim, 1966:52). Menurut Robert
Bellah di luar institusi agama kita mengenal adanya himpunan kepercayaan dan
ritual yang dinamakannya civil religion yaitu
kepercayaan dan ritual di luar agama yang dijumpai pada institusi politik
(lihat Kornblum, 1988:452).
Fungsi
Agama
Horton dan Hunt
(1984:271-272) membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Para ahli
sosiologi juga mengemukakan bahwa di samping mempunyai fungsi agama dapat
mempunyai disfungsi pula.
Agama
dan Perubahan Sosial
Dalam banyak
masyarakat perubahan sosial sering diiringi dengan gejala sekularisme. Para
ahli sosiologi mengemukakan bahwa proses ini seringkali memancing reaksi dari
kalangan agama, yang dapat berbentuk perlawanan maupun penyesuaian diri.
Agama
dan Institusi Lain Dalam Masyarakat
Kesalingketerkaitan
antara institusi agama dan institusi lain merupakan pokok kajian yang ditekuni
berbagai ahli sosiologi agama. Kesalingketerkaitan yang dikaji antara lain
mencakup intitusi keluarga, politk, ekonomi, dan pendidikan.
INSTITUSI
EKONOMI
Sosiologi ekonomi
merupakan kajian sosiologi terhadap kompleksnya kegiatan yang melibatkan
produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa yang bersifat
langka. Ahli sosiologi institusi perekonomian mempelajari institusi yang
terlibat dalam produksi dan distribusi barang dan jasa dalam masyarakat.
Ideologi
Ekonomi
Dalam perkembangan
sejarah kita menjumpai berbagai ideologi ekonomi, yaitu merkantilisme,
kapitalisme dan sosialisme. Dalam masyarakat kita menjumpai berbagai bentuk
organisasi yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi barang dan jasa
ini, seperti oligopoli dan perusahaan multinasional.
Kapitalisme
Tumbuh dan
berkembangnya kapitalisme yaitu sistem ekonomi yang didasarkan pada pemilikan
pribadi atas sarana produksi dan distribusi untuk kepentingan pencarian laba
pribadi ke arah pemupukan modal melalui persaingan bebas (lihat Horton dan
Hunt, 1984 dan Light, Keller dan Calhoun, 1989).
Sosialisme
Ideologi sosialisme
dapat dibagi dalam sosialisme non-Marxis dan sosialisme Marxis. Ideologi
sosialisme telah ada jauh sebelum zamannya Marx (lihat Laeyandecker, 1983).
Perusahaan
Light, Keller dan
Calhoun (1989) mengemukakan bahwa di bidang perindustrian dikenal adanya
oligopoli, yaitu industri yang didominasi beberapa perusahaan raksasa. Adanya
perusahaan raksasa yang menguasai pasar ini sangat menyukarkan perusahaan kecil
untuk dapat hidup, apalagi berkembang.
INSTITUSI
POLITIK
Sosiologi
mempelajari institusi politik. Kornblum (1989), institusi politik yaitu
perangkat aturan dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan
dan wewenang.
Tipe
Dominasi
Menurut Weber
kekuasaan ialah kemungkinan untuk memaksakan kehendak terhadap perilaku orang
lain (lihat Bendix, 1960:294). Weber membedakan antara kekuasaan dan dominasi.
Suatu dominasi memerlukan keabsahan. Weber membedakan antara tiga jenis
dominasi: dominasi kharismatik, dominasi tradisional, dan dominasi
legal-rasional.
Proses
Politik
Sosiologi politik
mempelajari pula proses politik. Suatu masalah yang menjadi pokok perhatian
sosiologi politik ialah faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dan
konsensus (lihat Lipset, 1963).
Max Weber dan
Robert Michels memusatkan perhatian mereka pada hubungan antara birokrasi dan
demokrasi (lihat Lipset, 1963:9-12). Keduanya berpandangan bahwa baik
organisasi sosialis maupun kapitalis akan mempunyai kecenderungan untuk menjadi
organisasi yang bersifat birokratis dan oligarkis.
BAB 7
Stratifikasi Sosial
KONSEP
STRATIFIKASI
Stratifikasi sosial
ialah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam
sosiologi. Berdasarkan status yang diperoleh dengan sendirinya, kita menjumpai
adanya berbagai macam stratifikasi. Anggota masyarakat dibeda-bedakan pula
berdasarkan status yang diraihnya, sehingga menghasilkan berbagai jenis
stratifikasi lain. Salah satu diantaranya ialah stratifikasi pendidikan.
Stratifikasi lain yang sering kita jumpai ialah stratifikasi pekerjaan dan
stratifikasi ekonomi.
SISTEM
STRATIFIKASI TERTUTUP DAN TERBUKA
Dalam sosiologi
kita mengenal pembedaan antara stratifikasi tertutup dan stratifikasi terbuka.
Keterbukaan suatu sistem stratifikasi diukur dari mudah-tidaknya dan
sering-tidaknya seseorang yang mempunyai status tertentu memperoleh status
dalam strata yang lebih tinggi (lihat Yinger, 1966:34).
MOBILITAS
SOSIAL
Dalam sosiologi
mobilitas sosial berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial
(Ransford, 1980:491). Mobilitas vertikal mengacu pada mobilitas ke atas atau ke
bawah dalam stratifikasi sosial; pun ada apa yang dinamakan lateral mobility
(lihat Giddens, 1989:229) yang mengacu pada perpindahan geografis antara
lingkungan setempat, kota dan wilayah.
JUMLAH
LAPISAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT
Di kalangan para
ahli sosiologi kita menjumpai keanekaragaman dalam penentuan jumlah lapisan
sosial. Ada yang merasa cukup dengan klasifikasi dalam dua lapisan, dan ada
pula yang membedakan antara tiga lapisan atau lebih.
Bernard Barber
memperkenalkan beberapa konsep yang mempertajam konsep stratifikasi. Salah satu
di antaranya ialah konsep rentang, yang mengacu pada perbedaan antara kelas
teratas dan kelas terbawah (Barber, 1957). Konsep terkait lainnya ialah konsep
bentuk (shape), yang mengacu pada
proporsi orang yang terletak di kelas sosial yang berlainan (lihat Barber,
1957).
DIMENSI
STRATIFIKASI
Menurut Marx
kehancuran feudalisme serta lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industri
modern telah mengakibatkan terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang saling
bermusuhan, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar (lihat Marx dalam Smelser,
1973:73-85). Marx meramalkan bahwa pada suatu saat buruh yang semakin bersatu
dan melalui suatu perjuangan kelas akan berhasil merebut alat produksi dari
kaum borjuis dan kemudian mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas.
Pandangan Marx ini dikecam
oleh banyak ilmuwan sosial. Kritik utama ditujukan pada digunakannya hanya satu
dimensi, yaitu dimensi ekonomi, untuk menetapkan stratifikasi sosial. Kritik
lain ialah bahwa dalam kenyatan masyarakat industri mengenal lebih dari dua
kelas.
Weber mengemukakan
bahwa di samping stratifikasi menurut dimensi ekonomi kita akan menjumpai pula
stratifikasi menurut dimensi lain. Max Weber memperkenalkan pembedaan antara
konsep kelas, kelompok status, dan partai, yang merupakan dasar bagi
pembedaannya antara tiga jenis stratifikasi sosial.
Pengaruh Weber
nampak dalam pandangan Berger, yang mengartikan stratifikasi sebagai
penjenjangan masyarakat menjadi hubungan atasan-bawahan atas dasar kekuasaan,
kekayaan dan kehormatan (Berger, 1978:94). Pengaruh Weber nampak pula dalam
karya Jeffries dan Ransford; dengan menggunakan ukuran kekuasaan, privilese,
dan prestise mereka membedakan tiga macam stratifikasi, yaitu herarki
kekuasaan, herarki kelas, dan herarki status (Jeffries dan Ransford,
1980:57-80). Suatu hal yang ditekankan Weber ialah kemungkinan adanya hubungan
antara kedudukan menurut beberapa dimensi.
KELAS
SOSIAL
Konsep kelas
merupakan suatu konsep yang sudah lama digunakan dalam ilmu sosial. Menurut
Marx dan Weber, konsep kelas dikaitkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat
berdasarkan kriteria ekonomi. Jeffries, melihat bahwa konsep kelas melibatkan
perpaduan antara ikatan ekonomi, pekerjaan, dan pendidikan.
PENJELASAN
BAGI ADANYA STRATIFIKASI
Pandangan Davis dan
Moore, yang dikenal sebagai penjelasan fungsionalis, menekankan pada fungsi
status dalam masyarakat yang dinilai menunjang kesinambungan masyarakat.
Sejumlah ahli sosiologi lain melihat bahwa stratifikasi timbul karena dalam
masyarakat berkembang pembagian kerja yang memungkinkan perbedaan kekayaan,
kekuasaan dan prestise.
DAMPAK
STRATIFIKASI
Adanya perbedaan
prestise dalam masyarakat tercermin pada perbedaan gaya hidup. Dalam kaitan
dengan perbedaan antarkelas ini para ahli sosiologi sering berbicara mengenai
simbol status, yaitu simbol yang menandakan status seseorang dalam masyarakat.
Makna
Stratifikasi bagi Peluang Hidup dan Perilaku
Kedudukan dalam
suatu kelas sosial tertentu mempunyai arti penting bagi seseorang. Max Weber
mengaitkan kedudukan dalam suatu kelas dengan peluang untuk hidup. Dalam buknya
Class, Staus and Power Bendix dan
Lipset (1965) menyajikan sejumlah tulisan berbagai ilmuwan sosial yang
memperlihatkan adanya perbedaan dalam perilaku kelas. Antara lain disebutkan
bahwa perbedaan kelas sosial berkaitan dengan perbedaan fertilitas, harapan
hidup bayi pada waktu lahir, kestabilan keluarga, kesehatan mental, perilaku seks,
kehidupan beragama, mode, dan sikap politik.
CARA
MEMPELAJARI STRATIFIKASI SOSIAL
Menurut Zanden
dalam sosiologi digunakan tiga pendekatan berlainan untuk mempelajari
stratifikasi sosial (lihat Zanden, 1979:267-274. Pendekatan pertama yaitu
pendekatan objektif : menggunakan ukuran objektif berupa variabel yang mudah
diukur secara statistik. Pendekatan kedua, pendekatan subjektif : melihat kelas
sebagai suatu kategori sosial, sehingga ditandai oleh kesadaran jenis.
Pendekatan ketiga, pendekatan reputational : menilai status orang lain dengan
jalan menempatkan orang lain tersebut pada suatu skala tertentu.
UPAYA
MASYARAKAT UNTUK MENGURANGI KETIDAKSAMAAN
Ada masyarakat yang
berpandangan bahwa apa yang dapat diperoleh seorang anggota masyarakat
tergantung pada kemampuannya. Masyarakat lain lebih menekankan asas yang
menyatakan bahwa pemerataan berarti pemerataan pendapatan.
Untuk mengurangi
ketidaksamaan dalam masyarakat pemerintah berbagai negara menerapkan berbagai
program. Beberapa masyarakat bahkan
berusaha mengurangi ketidaksamaan dalam masyarakat dengan jalan membatasi
perbedaan idividu.
BAB 8
Jenis Kelamin dan Gender
Bahan acuan yang
sering digunakan untuk mengawali suatu pembahasan mengenai masalah jenis
kelamin dan gender ialah buku ahli antropologi Margaret Mead mengenai
seksualitas dan temperemen di tiga kelompok etnik di Papua Timur Laut (1965).
Macionis (1996), perempuan umumnya dikaitkan dengan ciri kepribadian tertentu
seperti watak keibuan, berhati lembut, mempunyai seksualitas feminim, dll.
Laki-laki, di kaitkan dengan ciri kepribadian keras, agresif, seksualitas kuat,
dll. Dari temuannya di lapangan mengenai tidak adanya hubungan antara
kepribadian dengan jenis kelamin ini Mead menyimpulkan bahwa kepribadian
laki-laki dan perempuan tidak tergantung pada faktor jenis kelamin melainkan
dibentuk oleh faktor kebudayaan. Perbedaan kepribadian antar masyarakat maupun
antar individu, menurut Mead, merupakan hasil proses sosialisasi, terutama pola
asuhan dini yang dituntun oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
JENIS
KELAMIN DAN GENDER
Jenis
Kelamin
Konsep seks atau jenis kelamin mengacu pada
perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki; pada perbedaan antara tubuh
laki-laki dan perempuan. Manakala kita berbicara mengenai perbedaan jenis
kelamin maka kita akan membahas perbedaan biologis yang umumnya dijumpai antara
laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin bersifat biologis dan dibawa sejak lahir
sehingga tidak dapat diubah.
Gender
Menurut Giddens
(1989:158), konsep gender menyangkut perbedaan psikologis, sosial dan budaya
antara laki-laki dan perempuan. Macionis (1996:240), arti penting yang
diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan. Lasswell
dan Lasswell (1987:51), gender mengacu pada pengetahuan dan kesadaran, baik
secara sadar ataupun tidak, bahwa diri seseorang tergolong dalam suatu jenis
kelamin tertentu dan bukan dalam jenis kelamin lain. Konsep gender tidak
mengacu pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, melainkan pada
perbedaan psikologis, sosial dan budaya yang dikaitkan masyarakat antara
laki-laki dan perempuan.
GENDER
DAN SOSIALISASI
Kerstan (1995),
gender tidak bersifat biologis melainkan dikonstruksikan secara sosial. Gender
tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab
itu gender dapat berubah. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan
aspirasi dalam sosiologi dinamakan sosialisasi gender.
Keluarga
Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Sosialisasi gender
berawal pada keluarga. Melalui proses pembelajaran gender seseorang mempelajari
peran gender yang oleh masyarakat dianggap sesuai dengan jenis kelaminnya.
Salah satu media yang digunakan orang tua untuk memperkuat identitas gender
ialah mainan, yaitu dengan menggunakan mainan berbeda untuk tiap jenis kelamin.
Buku cerita kanak-kanak merupakan media lain untuk melakukan sosialisasi
gender. Keasadaran akan adanya sosialisasi gender melalui pola asuh anak ini
telah menimbulkan keinginan untuk menerapkan pola asuh yang tidak bersifat seksis.
Namun dalam praktik terbukti bahwa ide semacam ini tidak mudah dilaksanakan.
Kelompok
Bermain Sebagai Agen Sosialisasi Gender
Kelompok bermain
merupakan agen sosialisasi yang telah sejak dini membentuk perilaku dan sikap
kanak-kanak. Sebagai agen sosialisasi, kelompok bermain menerapkan kontrol
sosial bagi anggota yang tidak menaati aturannya.
Sekolah
Sebagai Agen Sosialisai Gender
Sebagai agen
sosialisasi gender, sekolah menerapkan pembelajaran gender melalui media
utamanya, yaitu kurikulum formal. Pembelajaran gender di sekolah dapat pula
berlangsung melalui buku teks yang digunakan. Bentuk pembelajaran lain
berlangsung melalui kurikulum terselubung; para guru sering memperlakukan siswi
secara berbeda dengan siswa. Pemisahan yang mengarah ke segregasi menurut jenis
kelamin sering terjadi manakala siswa mulai dijuruskan ke bidang-bidang ilmu
tertentu.
Media
Massa Sebagai Agen Sosialisai Gender
Media massa pun
sangat berperan dalam sosialisasi gender, baik melalui pemberitaannya, kisah
fiksi yang dimuatnya, maupun melalui iklan yng dipasang di dalamnya. Media
massa sering memuat iklan yang menunjang stereotip gender.
GENDER
DAN STRATIFIKASI
Macionis
(1996:245-246) mendefinisikan stratifikasi gender sebagai ketimpangan dalam
pembagian kekayaan, kekuasaan, dan privilese antara laki-laki dan perempuan.
Ketimpangan ini dijumpai di berbagai bidang kehidupan.
Adanya stratifikasi
gender telah mendorong lahirnya gerakan feminisme yang bertujuan membela dan
memperluas hak-hak kaum perempuan.
Gender
dan Pendidikan
Dalam berbagai
masyarakat maupun dalam kalangan tertentu dalam masyarakat dapat kita jumpai
nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan
melarang keikutsertaan anak perempuan dalam pendidikan formal. Sebagai akibat
ketidaksamaan kesempatan demikian maka dalam banyak masyarakat dapat dijumpai
ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender
dan Pekerjaan
Orang sering
melupakan bahwa di rumahnya pun perempuan sering melakukan berbagai kegiatan yang
menghasilkan dana. Sering dilupakan pula bahwa pekerjaan rumah tangga yang
dilakukan perempuan di ranah domestik, yaitu penyediaan barang dan jasa bagi
sesama anggota keluarga termasuk suami, merupakan suatu pekerjaan produktif.
Dalam angkatan
kerja mengidentifikasikan dua macam segregasi jenis kelamin: segregasi
vertikal, yaitu terkonsentrasinya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam
organisasi, dan segregasi horizontal, yaitu terkonsentrasinya pekerja perempuan
dijenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja
laki-laki.
Salah satu masalah
yang dihadapai kaum perempuan di berbagai masyarakat ialah adanya diskriminasi
di bidang pekerjaan. Suatu bentuk diskriminasi yang sering dialami pekerja
perempuan ialah diskriminasi terhadap orang hamil.
Gender
dan Penghasilan
Di berbagai
masyarakat pekerja laki-laki memperoleh upah lebih tinggi daripada upah pekerja
perempuan walaupun pekerjaan yang dilakukan sama. Gejala semacam ini dinamakan diskriminasi upah berdasarkan jenis
kelamin.
Dalam struktur
okupasi dijumpai bidang pekerjaan berstatus rendah yang umumnya hanya
dikerjakan perempuan, dan berada dibawah subordinasi pejabat laki-laki.
Pekerjaan yang dipegang oleh perempuan seperti pekerjaan sekretaris, juru tik,
dan stenograf dinamakan pekerjaan kerah merah jambu. Upah para pekerja
perempuan ini dinilai terlalu rendah sehingga mereka sering terjerat dalam
perangkap kemiskinan.
GENDER
DAN KEKUASAAN
Gender
dan Politik
Di masa lalu kaum
perempuan tidak mempunyai hak pilih. Hingga kini kaum perempuan dalam banyak
masyarakat ialah tidak memiliki hak memilih dan dipilih. Masih relatif
terbatasnya jumlah posisi di dalam ranah publik yang berhasil diraih kaum
perempuan sering dijadikan indikasi mengenai besarnya kesenjangan antara peraih
status perempuan dan laki-laki di bidang politik.
Gender
dan Keluarga
Dalam banyak rumah
tangga kita menemukan ketimpangan antara kekuasaan suami dan istri. Kajian
terhadap pembagian kekuasaan antara suami dan istri telah melahirkan konsep
keluarga simetris, yang mengacu pada kekuasaan seimbang, dan keluarga
asimetris, yang mengacu pada kekuasaan tidak seimbang.
Para ahli telah
menggunakan berbagai indikator untuk mengukur pembagian kerja dan kekuasaan
suami-istri dalam rumah tangga. Salah satu cara ialah dengan merinci pekerjaan
rumah tangga apa saja dilakukan oleh siapa. Untuk mengacu pada berbagai pola
kekuasaan mengelola keuangan rumah tangga dijumpai konsep wife control, wife controlled pooling, husband controlled pooling, dan husband control. Dalam banyak keluarga
peran pria dalam rumah tangga masih tetap dominan.
KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN
Dalam interaksinya
dengan laki-laki, kaum perempuan sering mengalami berbagai bentuk kekerasan.
Kekerasan tersebut dapat berbentuk hubungan seks secara paksa, kekerasan
fisik ataupun pelecehan secara lisan.
Perkosaan
Kejahatan berupa
perkosaan tidak hanya dilakukan terhadap seseorang yang berjenis kelamin
berbeda, tetapi dilakukan terhadap seseorang yang berjenis kelamin sama.
Perkosaan sering dilakukan terhadap perempuan berusia muda, oleh orang yang
telah dikenal korban seperti, tetangga, teman kencan, pacar, atau kerabat;
perkosaan sering terjadi di dalam rumah korban sendiri; perkosaan jarang
dilaporan ke pihak berwajib.
Kekerasan
Domestik
Banyak orang
mengalami kekerasan domestik, yaitu kekerasan di tangan orang yang dekat dengan
mereka. Kekerasan terhadap mitra intim merupakan bentuk kekerasan dalam mana
korban kekerasan terdiri atas mitra intim. Kekerasan yang terjadi antara dua
orang yang berkencan dan belum terikat hubungan pernikahan dinamakan kekerasan
waktu kencan. Kekerasan terhadap mitra intim maupun kekerasan waktu kencan
cenderung terdiri atas perempuan.
Pihak berwajib
biasanya enggan turun tangan dalam kasus ini. Para istri yang menjadi korban
kekerasan pun sering tidak melakukan pengaduan ke pihak berwajib.
Pelecehan
Seks
Berbagai bentuk
perlakuan tidak menyenangkan terhadap seseorang, terutama kaum perempuan,
dinamakan pelecehan seks. Tindakan semacam ini banyak dialami perempuan di
tempat kerja.
PENJELASAN
Ketimpangan antara
laki-laki dan perempuan, menguntungkan bagi kaum laki-laki dikaitkan dengan
dominasi laki-laki terhadap perempuan. Bentuk organisasi sosial dalam mana
laki-laki mendominasi perempuan dinamakan patriarki, sedangkan bentuk dalam
mana perempuan mendominasi laki-laki dinamakan matriarki. Faktor yang dianggap
mendasari dominasi laki-laki ialah seksisme, yaitu keyakinan bahwa keunggulan
suatu jenis kelamin merupakan pembawaan sejak lahir.
Di bidang teori
sosial dijumpai pemikiran feminis, yaitu upaya memahami kehidupan sosial dan
pengalaman manusia melalui sudut pandang perempuan. Pemikiran feminis dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar: jawaban terhadap pertanyaan
mengenai situasi perempuan, dan jawaban terhadap pertanyaan mengapa kaum
perempuan berada dalam situasi demikian. Melalui pertanyaan-pertanyaan
demikian, para ilmuwan feminis berupaya menguraikan perbedaan antara laki-laki
dan perempuan, untuk kemudian berupaya menjelaskan faktor-faktor yang mendasari
perbedaan, ketimpangan, dan penindasan tersebut melalui berbagai teori.
BAB 9
Kelompok Sosial
Kelompok sosial
merupakan suatu gejala yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena
sebagian besar kegiatan manusia berlangsung di dalamnya. Tanpa kita sadari,
sejak lahir hingga kini kita telah menjadi anggota bermacam-macam kelompok.
KONSEP
KELOMPOK
Klasifikasi
Bierstedt
Bierstedt
menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada-tidaknya
organisasi, hubungan sosial di antara anggota kelompok, dan kesadaran jenis. Bierstedt
membedakan empat jenis kelompok: kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok sosial (social group), dan kelomok asosiasi (associational group).
KLASIFIKASI
MERTON
Menurut Robert K. Merton (1965:285) konsep kelompok
merupakan sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang
telah mapan, sedangkan kolektiva merupakan orang yang mempunyai rasa
solidaritas karena berbagi nilai bersama dan yang telah memiliki rasa kewajiban
moral untuk menjalankan harapan peran (1965:299). Konsep lain yang diajukan
Merton ialah konsep kategori sosial (social
categories). Kategori sosial adalah suatu himpunan peran yang mempunyai
ciri sama seperti jenis kelamin atau usia.
KLASIFIKASI
KELOMPOK
Salah satu dampak perubahan
jangka panjang yang melanda Eropa Barat dan kemudian menyebar ke seluruh
pelosok dunia ialah terjadinya perubahan dalam pengelompokkan anggota
masyarakat.
Durkheim:
Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik
Dalam bukunya The Division of Labor Society
(1968), Durkheim membedakan antara
kelompok yang didasarkan pada solidaritas mekanik, dan kelompok yang didasarkan
pada solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan ciri yang menandai
masyarakat yang masih sederhana, yang oleh Durkheim dinamakan segmental.
Sedangkan solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang mengikat
masyarakat kompleks yang telah mengenal pembagian kerja yang rinci dan
dipersatukan oleh kesalingtergantungan antar bagian.
Tonnies:
Gemeinschaft dan Gesellschaft
Dalam bukunya Gemeinschaft und Gemeinschaft, Tonnies
mengadakan pembedaan antara dua jenis kelompok, yang dinamakannya Gemeinschaft
dan Gesellschaft. Gemeinschaft digambarkannya
sebagai kehidupan bersama yang intim, pribadi dan eksklusif; suatu keterikatan
yang dibawa sejak lahir dan dibagi dalam tiga jenis: Gemeinschaft by blood, Gemeinschaft of place, dan Gemeinschaft of mind. Gesellschaft
merupakan kehidupan publik, yang terdiri atas orang yang kebetulan hadir
bersama tetapi masing-masing tetap mandiri dan bersifat sementara dan semu.
Cooley:
Primary Group
Pada tahun 1909
Charles Horton Cooley memperkenalkan konsep kelompok primer (Primary
Group). Kelompok primer
ialah kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerjasama tatap muka yang
intim. Sebagai lawannya, sejumlah ahli sosiologi telah menciptakan konsep
kelompok sekunder (secondary group)-suatu
konsep yang tidak kita jumpai dalam karya Cooley.
Sumner:
In-Group dan Out-Group
Suatu klasifikasi
lain, yaitu pembedaan antara kelompok dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group),
didasarkan pada pemikiran W. G. Sumner (1940). Sumner mengemukakan bahwa di
kalangan anggota kelompok dalam dijumpa persahabatan, kerjasama, keteraturan
dan kedamaian sedangkan hubungan antar kelompok dalam dengan kelompok luar
cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang dan perampokan.
Menurut Sumner
selanjutnya, perasaan yang berkembang pada masyarakat modern ialah patriotisme.
Meskipun dalam masyarakat modern batas kelompok telah diperluas dan keanggotaan
yang dijadikan acuan ialah kewarganegaraan, namun dalam patriotisme kesetiaan
pada kelompok dan pimpinan kelompok serta perasaan etnosentrisme tetap
dipertahankan. Setiap warga negara diharapkan berkorban untuk negaranya.
Merton:
Membership Group dan Reference Group
Robert K. Merton
memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok
tidak berarti bahwa seseorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi
cara bersikap, menilai maupun bertindak. Merton mengamati bahwa kadang-kadang
perilaku seseorang tidak mengacu pada kelompok yang di dalamnya ia menjadi
anggota, melainkan pada kelompok lain.
Di kala seseorang
berubah keanggotaan kelompok, ia sebelumnya dapat menjalani perubahan
orientasi-suatu proses yang oleh Merton diberi nama sosialisasi antisipatoris.
Proses sosialisasi antisipatoris mempunyai dua fungsi: membantu diterimanya
seseorang dalam kelompok baru, dan membantu penyesuaian anggota baru dalam
kelompok yang baru itu.
Parsons:
Variabel Pola
Talcott Parsons,
memperkenalkan perangkat variabel pola. Menurut Parsons variabel pola merupakan
seperangkat dilema universal yang dihadapi dan harus dipecahkan seorang pelaku
dalam setiap situasi sosial.
Geertz:
Priayi, Santri, dan Abangan
Suatu klasifikasi
yang digali Geertz dari masyarakat Jawa ialah pembedaan antar subtradisi
abangan, santri dan priayi. Menurut Geertz pembagian masyarakat yang
ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini didasarkan atas perbedaan pandangan
hidup di antara mereka.
ORGANISASI
FORMAL
Menurut Weber dalam
masyarakat modern kita menjumpai suatu sistem jabatan yang dinamakannya
birokrasi. Organisasi birokrasi yang disebutkan Weber mengandung sejumlah
prinsip. Prinsip tersebut hanya dijumpai pada birokrasi yang oleh Weber disebut
tipe ideal, yang tidak akan kita jumpai dalam masyarakat.
KELOMPOK
FORMAL DAN KELOMPOK INFORMAL
Suatu gejala yang
menarik perhatian banyak ilmuwan sosial ialah adanya keterkaitan antara kelompok
formal dan kelompok informal. Dalam organisasi formal akan terbentuk berbagai
kelompok informal. Nilai dan aturan kelompok informal dapat bertentangan dengan
nilai dan aturan yang berlaku dalam organisasi formal.
BAB 10
Hubungan Antarkelompok
KONSEP
KELOMPOK DAN HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Dalam pembahasan
kita mengenal kelompok kita telah melihat tipologi menurut Robert Bierstedt,
yaitu pembagian dalam empat tipe kelompok, yaitu statistical group, societal group, social group, dan associational group.
KLASISIKASI
KELOMPOK YANG TERLIBAT DALAM HUBUNGAN
ANTARKELOMPOK
Kata kelompok dalam
konsep hubungan antarkelompok mencakup semua kelompok yang diklasifikasikan
oleh Kinloch (1979), berdasarkan kriteria ciri fisiologis, kebudayaan, ekonomi,
dan perilaku.
DIMENSI
HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Hubungan
antarkelompok mempunyai berbagai dimensi. Dalam hubungan ini Kinloch
mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kelompok minoritas dapat dikaji
dengan menggunakan dimensi sejarah, demografi, sikap, institusi, gerakan
sosial, dan tipe utama hubungan antarkelompok (lihat Kinloch, 1979:3-10). Di
samping itu dalam hubungan antarkelompok masih ada dimensi lain yang perlu kita
perhatikan, yaitu dimensi perilaku dan dimensi perilaku kolektif.
KELOMPOK
MAYORITAS DAN MINORITAS
Suatu
bentuk hubungan yang banyak disoroti dalam kajian terhadap hubungan
antarkelompok ialah hubungan mayoritas-minoritas. Dalam definisi Kinloch
kelompok mayoritas ditandai oleh adanya kelebihan kekuasaan; konsep mayoritas
tidak dikaitkan dengan jumlah anggota kelompok. Ada pula ilmuwan sosial yang
berpendapat bahwa konsep mayoritas didasarkan pada keunggulan jumlah anggota.
RAS
Redfield (1943)
melihat bahwa konsep ras merupakan suatu gejala sosial yang berlainan dengan
konsep ras sebagai suatu gejala biologis. Bagi Berghe (1967:9) ras berarti
kelompok yang didefinisikan secara sosial atas dasar kriteria fisik.
KELOMPOK
ETNIK
Menurut Francis
kelompok etnik merupakan sejenis komunitas yang menampilkan persamaan bahasa,
adat istiadat, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik. Koentjaraningrat
(1983) berpendapat bahwa kedua konsep bermakna sama namun mengusulkan agar
istilah kelompok etnik diganti dengan istilah golongan etnik atau suku-bangsa
dengan alasan bahwa suku-bangsa bukan kelompok melainkan golongan. Yang
dimaksudkannya dengan golongan ialah kategori sosial.
RASISME
Rasisme
didefinisikan sebagai suatu ideologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa ciri
tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri tersebut lebih
rendah sehingga mereka dapat didiskriminasikan.
SEKSISME
Di
samping rasisme kita menjumpai pula ideologi lain yang juga berusaha
membenarkan diskriminasi terhadap kelompok lain atas dasar anggapan bahwa
perbedaan yang dibawa sejak lahir terkait dengan status lebih rendah. Salah
satu di antaranya ialah sexism. Atas
dasar ideologi ini dilakukanlah diskriminasi terhadap perempuan; dalam hal
pendidikan dan pekerjaan.
AGEISM
Ideologi
lain yang dikaitkan dengan ciri yang dibawa sejak lahir ialah ideologi bahwa
orang pada usia tertentu layak didiskriminasikan karena mereka kurang mampu
apabila dibandingkan dengan orang dalam kelompok usia lain (ageism).
RASIALISME
Apabila kita
berbicara tentang rasialisme kita juga berbicara mengenai praktik diskriminasi
terhadap kelompok ras lain. Praktik berupa penolakan menjual atau menyewakan
rumah atau kamar kepada anggota kelompok ras atau etnik tertentu, apabila
didasarkan pertimbangan rasisme, merupakan praktik rasialis.
HUBUNGAN
ANTARKELOMPOK: DIMENSI SEJARAH
Menurut Noel (1968) stratifikasi etnik terjadi
apabila terpenuhi tiga syarat yaitu etnosentrisme, persaingan dan perbedaan
kekuasaan. Collins berpandangan bahwa satu-satunya faktor yang mengawali dan
mendasari stratifikasi jenis kelamin ialah kekuatan fisik, sedangkan Parsons
mengaitkan stratifikasi jenis kelamin dengan industrilisasi. Menurut Ransford
kekhususan stratifikasi usia terletak pada kenyataan bahwa status dalam jenjang
kekuasaan, prestise dan privilese berbentuk kurvilinear.
POLA
HUBUNGAN ANTARKELOMPOK
Banton (1967:68-76)
mengemukakan bahwa kontak antara dua kelompok ras dapat diikuti proses
akulturasi, dominasi, paternalisme, pluralisme, dan integrasi. Dalam
klasifikasi Stanley Lieberson (1961) dibedakan antara pola dominsai kelompok
pendatang atas kelompok pribumi (migrant
superordination) dan pola dominasi kelompok pribumi atas kelompok pendatang
(indigenous superordination).
DIMENSI
SIKAP
Prasangka
Dalam hubungan
antarkelompok sering ditampilkan prasangka. Salah satu teori untuk menjelaskan
prasangka ialah teori frustasi-agresi. Menurut Banton (1967:294-299) teori ini
mengatakan bahwa orang akan melakukan agresi manakala usahanya untuk memperoleh
kepuasan terhalang.
Stereotip
Stereotip merupakan
suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka. Stereotip dapat
bersifat positif maupun negatif. Janowitz dan Bettelheim membedakan dua macam
stereotip negatif yang saling bertentangan: stereotip
superego dan stereotip id.
DIMENSI
INSTITUSI
Ideologi rasisme
yang menganggap bahwa orang Kulit Putih lebih unggul daripada orang Kulit
Berwarna antara lain pernah dianut Amerika Serikat dan di Republik Afrika
Selatan (lihat Banton, 1967 dan v.d. Berghe, 1967). Menurut v.d. Berghe (1967)
di masa itu demokrasi di Amerika Serikat dan di Republik Afrika Selatan
merupakan apa yang dinamakannya “Herrenvolk
democracy” (demokrasi bangsa yang lebih unggul).
Berghe
mengidentifikasi tiga macam kebijaksanaan di negara bagian Selatan Amerika
untuk menegakkan keunggulan orang Kulit Putih yaitu kebijaksanaan mencabut hak
pilih (disfranchisement) orang Kulit
Hitam, pemisahan warna kulit secara fisik, dan kebiasaan di luar jalur hukum
untuk menyebarkan rasa takut dalam bentuk teror terhadap orang Kulit Hitam,
antara lain berupa intimidasi, penganiayaan dan praktik pembunuhan oleh massa
yang dikenal istilah lynching.
Di Indonesia pun
dikenal berbagai kebijaksanaan yang mengatur hubungan antarkelompok. Di masa
penjajahan, misalnya, penduduk dibagi dalam tiga kelompok: orang Eropa, orang
Timur Asing, dan orang Pribumi. Setelah kemerdekaan kita mengenal berbagai
peraturan yang mengatur hubungan antarkelompok, khususnya antar kelompok
Pribumi dan kelompok Tionghoa. Kadang-kadang suatu masyarakat menerapkan
kebijaksanaan yang dikenal dengan nama reverse
discriminstion.
DIMENSI
GERAKAN SOSIAL
Hubungan
antarkelompok sering melibatkan gerakan sosial, baik yang diprakarsai oleh
pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh mereka yang ingin mempertahankan
keadaan yang ada.
DIMENSI
PERILAKU DAN PERILAKU KOLEKTIF
Dimensi
Perilaku
Salah satu bentuk
perilaku yang banyak ditampilkan dalam hubungan antarkelompok ialah
diskriminasi. Ransford membedakan antara diskriminasi individu (individual discrimination) dan
diskriminasi institusi (institutional
discrimination). Prasangka bukanlah prasyarat bagi perilaku diskriminasi,
dan sebaliknya prasangka yang dianut seseorang pun tidak selalu membuahkan
perilaku diskriminasi.
Menurut Banton,
diskriminasi mewujudkan jarak sosial. Dengan menggunakan skala sikap yang
dinamakan skala jarak sosial (social
distance scale) para ilmuwan sosial dapat mengukur jarak sosial satu
kelompok dengan kelompok lain.
Dimensi
Perilaku Kolektif
Hubungan
antarkelompok pun sering berwujud perilaku kolektif. Tidak jarang suatu gerakan
antarkelompok berkembang menjadi huru-hara yang dapat mengakibatkan pengrusakan
harta benda atau bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Hubungan
antarkelompok pun sering melibatkan gerakan sosial, baik yang diprakarsai oleh
pihak yang menginginkan perubahan maupun oleh mereka yang ingin mempertahankan keadaan
yang ada.
BAB 11
Studi Penduduk
Pertumbuhan
demografi diawali abad ke 17 dan 18 sangat ditunjang oleh perkembangan sistem
pencatatan dan sensus. Mengenai letak demografi dalam pohon ilmu dijumpai
perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa demografi merupakan suatu ilmu
yang bersifat antardisiplin, namun ada pula yang berpendapat bahwa demografi
merupakan suatu ilmu sosial. Biasanya para ahli membedakan antara demografi
formal yang melibatkan pengumpulan, analisis, dan penyajian data mengenai penduduk,
dan demografi sosial yang mempelajari kesalingketergantungan antara
variabel-variabel sosiologi dengan variabel demografi.
PERUBAHAN
PENDUDUK
Masalah besar,
komposisi, distribusi, dan perubahan penduduk ini dipelajari para ahli
demografi dengan mempelajari tingkat kelahiran, kematian, dan migrasi.
Salah satu
indikator tingkat kelahiran ialah angka kelahiran kasar. Angka fertilitas
merupakan suatu indikator mengenai jumlah rata-rata anak yang secara nyata
dilahirkan hidup oleh seseorang wanita sedangkan fecundity mengacu pada potensi biologis seorang wanita untuk
melahirkan.
Konsep lain yang
dipakai untuk mengukur pertumbuhan penduduk ialah angka kematian kasar. Konsep
yang berkaitan dengan laju kematian ialah angka kematian bayi. Suatu indikator untuk
mengukur panjang usia penduduk ialah konsep harapan hidup, dan konsep rentangan
hidup.
Faktor dasar lain
yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk ialah perpindahan penduduk atau migrasi.
Bertalian dengan beraneka ragamnya bentuk migrasi, maka biasanya diadakan
pembedaan antara berbagai jenis migrasi, seperti antar migrasi intern dan
migrasi internasional, dan antara migrasi ke luar dan migrasi ke dalam. Para
ahli merinci dua jenis faktor penyebab migrasi, baik migrasi intern maupun
migrasi internasional. Faktor-faktor tersebut dinamakan faktor pendorong dan
faktor penarik.
Pertumbuhan
penduduk dunia secara sangat cepat menumbuhkan keinginan ke arah tercapainya
penghentian pertumbuhan penduduk. Situasi ini hanya dapat tercapai manakala
jumlah orang yang meninggal dunia atau bermigrasi ke luar sama dengan jumlah
orang yang dilahirkan atau bermigrasi ke dalam.
KOMPOSISI
PENDUDUK
Komposisi penduduk
merupakan suatu konsep yang mengacu pada susunan penduduk menurut kriteria
tertentu seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan, suku bangsa, kebangsaan,
pendidikan, tempat tinggal, dan penghasilan.
Data yang sering
digunakan untuk menggambarkan komposisi pendudukan ialah usia dan jenis
kelamin, yang biasanya disajikan secara gratis dalam apa yang dinamakan
piramidal pendudukan. Bentuk suatu piramida penduduk dapat memberikan indikasi
mengenai berbagai hal, seperti tingkat kelahiran, tingkat kematian, usia
median, dan angka beban tanggungan.
TEORI
MALTHUS
Pada tahun 1798
Malthus menertibkan suatu esai dalam mana ia mengemukakan bahwa jumlah penduduk
berkembang menurut deret ukur sedangkan jumlah bahan makanan hanya dapat
ditingkatan menurut deret hitung, sehingga perkembangan penduduk yang tak
terbendung akan terbentur pada keterbatasan penyediaan bahan makanan. Menurut
Malthus, jumlah penduduk tidak dapat melewati daya dukung sumber daya alam
karena adanya berbagai mekanisme pencegah yang disebutnya “positive checks” dan “preventive
checks”. Untuk menghindarkan malapetaka yang akan menurunkan kualitas hidup
manusia Malthus mengusulkan diterapkannya pengendalian moral. Pada masa ini
perdebatan mengenai jumlah penduduk dan penyediaan bahan makanan ini
berkecambuk lagi.
TEORI
TRANSISI DEMOGRAFI
Para ahli demografi
membuat teori-teori transisi demografi yang berusaha menjelaskan proses
perubahan demografi penduduk dengan angka kelahiran dan angka kematian tinggi
ke angka kelahiran dan angka kematian rendah. Menurut teori ini suatu
masyarakat yang mengalami proses industrialisasi akan melewati tiga tahap.
KEBIJAKSANAAN
KEPENDUDUKAN
Para ahli
mengelompokkan kebijaksanaan kependudukan yang ada dalam dua kelompok besar:
kebijaksanaan yang bersifat pronatal, dan kebijaksanaan yang bersifat antinatal
(lihat Horton dan Hunt, 1984:434-437). Kebijaksanaan pronatal merupakan suatu
kebijaksanaan yang menunjang angka kelahiran tinggi. Sedangkan, kebijaksanaan
antinatal merupakan kebijaksanaan yang bertujuan membatasi tingkat kelahiran.
BAB 12
Konformitas dan Penyimpangan
KONFORMITAS
Konsep konformitas
didefinisikan Jon M. Shepard sebagai bentuk interaksi yang di dalamnya
seseorang berperilaku terhadap orang lain sesuai dengan harapan kelompok
(1984:115).
Pada umumnya kita
cenderung bersifat konformis. Berbagai studi memperlihatkan bahwa manusia mudah
dipengaruhi orang lain. Salah satu di antaranya ialah studi Muzafer Sherif
(1966), yang membuktikan bahwa dalam situasi kelompok orang cenderung membentuk
suatu norma sosial.
PENYIMPANGAN
James Vander Zander
mendefinisikan penyimpangan sebagai perilaku yang oleh sejumlah besar orang
dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Dalam tiap
masyarakat kita selalu menjumpai adanya anggota yang menyimpang. Menurut
Kornblum (1989:202-204) di samping penyimpangan (deviance) dan penyimpang (deviant)
kita menjumpai pula institusi penyimpangan (deviant
institution).
DEFINISI
SOAL PENYIMPANGAN
Menurut para ahli
sosiologi penyimpangan bukan sesuatu yang melekat pada bentuk perilaku
tertentu, melainkan diberi ciri penyimpangan melalui definisi sosial. Definisi
tersebut dapat bersumber pada kelompok yang berkuasa dalam mayarakat, atau pun
pada masyarakat umum.
TEORI
MENGENAI PENYIMPANGAN
Dalam sosiologi
dikenal berbagai teori sosiologi untuk menjelaskan mengapa penyimpangan
terjadi. Ada teori yang mencoba menjelaskan penyimpangna dari segi
mikrososiologi dengan mencari akar penyimpangan pada interaksi sosial, dan ada
yang menjelaskan dari segi makrososiologi dengan mencari sumber penyimpangan
pada struktur sosial.
Menurut teori differential association (Suntherland)
penyimpangan bersumber pada pergaulan yang berbeda dan dipelajari melalui
proses alih budaya. Melalui proses ini, seseorang mempelajari suatu
subkebudayaan menyimpang. Menurut teori Labeling
(Lemert) seseorang menjadi penyimpang karena proses pemberian julukan, cap,
etiket, merek oleh masyarakat kepadanya.
Merton
mengidentifikasi lima tipe cara adaptasi individu terhadap situasi tertentu;
empat di antara lima perilaku peran dalam menghadapi situasi tersebut merupakan
perilaku menyimpang.
Pada konformitas
perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, dan mengikuti cara yang
ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut; pada inovasi perilaku
mengikuti tuuan yang ditentukan masyarakat tetapi memakai cara yang dilarang
masyarakat; pada ritualisme perilaku seseorang telah meninggalkan tujuan budaya
namun masih tetap berpegang pada cara yang telah digariskan masyarakat; pada retreatism perilaku seseorang tidak
mengikuti tujuan budaya dan juga tidak mengikuti cara untuk meraih tujuan
budaya; dan pada pemberontakan orang tidak lagi mengakui struktur sosial yang
ada dan berupaya menciptakan suatu struktur sosial yang lain.
Menurut teori fungsi (Durkheim) kejahatan perlu bagi
masyarakat, karena dengan adanya kejahatan maka moralitas dan hukum dapat
berkembang secara normal. Teori konflik (Marx),
di pihak lain, berpandangan bahwa apa yang merupakan perilaku menyimpang
didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam masyarakat untuk melindungi
kepentingan mereka sendiri, dan bahwa hukum merupakan pencerminan kepentingan
kelas yang berkuasa, dan bahwa sistem peradilan pidana mencerminkan nilai dan
kepentingan mereka. Oleh sebab itu yang dianggap melakukan tidak pidana dan
yang terkena hukuman biasanya lebih banyak terdapat di kalangan orang miskin.
TIPE-TIPE
KEJAHATAN
Para ahli sosiologi membedakan berbagai tipe
kejahatan. Kejahatan tanpa korban (crimes
without victims), merupakan kejahatan yang tidak mengakibatkan penderitaan
pada korban. Kejahatan terorganisasi (organized
crime) ialah komplotan berkesinambungan untuk memperoleh uang atau
kekuasaan dengan jalan menghindari hukum melalui penyebaran rasa takut atau
melalui korupsi. Kejahatan kerah putih (white-collar
crime), mengacu pada kejahatan yang dilakukan oleh orang terpandang atau
orang berstatus tinggi dalam rangka pekerjaannya. Kejahatan korporat (corporate crime), merupakan jenis
kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi formal dengan tujuan menaikkan
keuntungan atau menekan kerugian. Karena tidak dilakukan oleh perseorangan
melainkan oleh badan hukum, pelakunya tidak dapat dipidana.
BAB 13
Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial
PERILAKU
KOLEKTIF
Perilaku yang tidak
berpedoman pada institusi yang terdapat dalam masyarakat dalam sosiologi
dinamakan perilaku kolektif, yaitu perilaku yang (1) dilakukan bersama oleh
sejumlah orang, (2) tidak bersifat rutin, dan (3) merupakan tanggapan terhadap
rangsangan tertentu. Perilaku kolektif merupakan perilaku menyimpang yang
merupakan tindakan bersama sejumlah orang dan merupakan perilaku yang tidak
rutin. Perilaku kolektif dipicu oleh suatu rangsangan yang sama dan dapat
terdiri atas suatu peristiwa, benda, atau ide.
PERILAKU KERUMUNAN
Perilaku kolektif
selalu melibatkan perilaku sejumlah orang yang berkerumunan. Menurut Le Bon
istilah kerumunan berarti sekumpulan orang yang mempunyai ciri baru yang
berbeda sama sekali dengan ciri individu yang membentuknya. Kumpulan orang
menjadi kerumunan terorganisasi atau kerumunan psikologis-menjadi suatu makhluk
tunggal yang tunduk pada kesatuan mental kerumunan. Suatu kerumunan mempunyai
ciri baru yang semula tidak dijumpai pada masing-masing anggotanya.
Blumer membuat
suatu klasifikasi jenis-jenis kerumunan dengan membedakan antara kerumunan
sambil lalu, kerumunan konvensional, kerumunan ekspresif dan kerumunan
bertindak. Di luar klasifikasi Blumer ini ada tipe lain, yaitu perilaku
kerumunan yang berbentuk panik.
FAKTOR
PENYEBAB PERILAKU KERUMUNAN: TEORI LE BON
Le Bon menyebutkan
tiga faktor penyebab terjadinya kerumunan. Faktor tersebut ialah (1) karena
kebersamaannya dengan banyak orang lain individu memperoleh perasaan kekuatan
luar biasa yang mendorongnya untuk tunduk pada dorongan naluri, (2) dalam suatu
kerumunan tiap perasaan dan tindakan bersifat menular, dan (3) dalam kerumunan
individu mudah dipengaruhi, percaya dan taat.
Karena Le Bon
menekankan pada faktor penularan, maka teorinya sering dinamakan teori
penularan. Turner dan Killian mengemukakan bahwa dalam kerumunan pun muncul
aturan baru, sehingga teori mereka dinamakan emergent norm theory. Suatu teori lain yang disebut Horton dan Hunt
ialah apa yang dinamakan teori konvergensi; menurut teori ini perilaku
kerumunan muncul dari sejumlah orang yang mempunyai dorongan, maksud, kebutuhan
serupa.
FAKTOR
PENENTU PERILAKU KOLEKTIF: TEORI SMELSER
Smelser
mengidentifikasikan enam faktor penentu perilaku. Faktor tersebut ialah: (1) structural conduciveness, faktor
struktur situasi sosial yang memudahkan terjadinya perilaku kolektif, (2)
ketegangan struktural (structural strain),
(3) berkembang dan menyebarnya suatu kepercayaan umum (growth and spread of a generalized belief), (4) faktor yang
mendahului (precipitating factors),
(5) mobilisasi para peserta untuk melakukan tindakan, dan (6) ialah
berlangsungnya pengendalian sosial (the
operation of social control).
GERAKAN
SOSIAL
Gerakan sosial
merupakan perilaku kolektif yang ditandai kepentingan bersama dan tujuan jangka
pangjang, yaitu untuk mengubah ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi
yang ada di dalamnya. Ciri lain gerakan sosial ialah penggunaan cara yang
berada di luar institusi yang ada.
Dengan menggunakan
kriteria tipe perubahan yang dikehendaki dan besarnya perubahan yang diinginkan
Aberle membedakan empat tipe gerakan, sebagai berikut: alterative movement, redemptive movement, reformative movement, dan transformative movement. Kornblum, di
pihak lain, menggunakan tujuan yang hendak dicapai sebagai kriteria
klasifikasi. Atas dasar kriteria ini Kornblum membedakan antara revolutionary movement, reformist movement,
conservative movement, dan
reactionary movement.
FAKTOR
PENYEBAB GERAKAN SOSIAL
Menurut penjelasan
yang mengaitkan gerakan sosial dengan deprivasi ekonomi dan sosial, orang
melibatkan diri dalam gerakan sosial karena menderita deprivasi. Beberapa orang
ahli sosiologi kurang sependapat dengan penjelasan deprivasi semata-semata dan
merumuskan penjelasan yang memakai konsep deprivasi relative-kesenjangan antara
harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang dihadapi.
Sejumlah ahli
sosiologi lain berpendapat bahwa perubahan sosial memerlukan pengerahan sumber
daya manusia maupun alam. Tanpa adanya pengerahan sumber daya suatu gerakan
sosial tidak akan terjadi, meskipun tingkat deprivasi tinggi.
BAB 14
Perubahan Sosial
POLA
PERUBAHAN SOSIAL
Pemikiran para
tokoh sosiologi klasik mengenai perubahan sosial dapat digolongkan ke dalam
beberapa pola.
Pola
Linear
Pola pertama ialah pola linear, menurut pemikiran
ini perkembangan masyarakat mengikuti pola suatu pola yang pasti.
Pola
Siklus
Pola kedua ialah
pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda: kadang kala naik ke
atas, kadangkala turun ke bawah.
Gabungan
Beberapa Pola
Sejumlah teori
menampilkan penggabungan antara kedua pola tersebut di atas.
PERUBAHAN
SOSIAL DI ABAD KE 20
Berakhirnya Perang
Dunia II diikuti perubahan-perubahan sosial besar di kawasan Asia, Afrika dan
Amerika Serikat di mana mayoritas masyarakat dunia hidup. Sebagai akibatnya
muncul berbagai teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara di kawasan
ini yang diberi berbagai julukan seperti “Masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga”,
“Negara-negara Terbelakang”, “Negara-negara Sedang Berkembang”.
Giddens
mengemukakan bahwa proses peningkatan kesalingketergantungan masyarakat dunia
yang dinamakannya globalisasi ditandai kesenjangan besar antara kekayaan dan
tingkat hidup masyarakat-masyarakat industri dan masyarakat-masyarakat Dunia
Ketiga. Selain itu ia mencatat tumbuh dan berkembangnya negara-negara industri
baru, dan semakin meningkatnya komunikasi antarnegara sebagai dampak teknologi
komunikasi yang semakin canggih.
Masalah globalisasi
diulas pula oleh Waters. Waters berpandangan bahwa globalisasi berlangsung di
tiga bidang kehidupan, yaitu perekonomian, politik, dan budaya.
TEORI-TEORI
MODERN MENGENAI PERUBAHAN SOSIAL
Teori-teori modern
yang terkenal ialah teori-teori modernisasi, teori ketergantungan, dan teori
mengenal sistem dunia.
Teori modernisasi
menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama dengan
negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang
pula melalui proses modernisasi.
Menurut teori
ketergantungan yang didasarkan pada pengalaman negara-negara Amerika Latin,
negara-negara industri menduduki posisi dominan sedangkan negar-negara Dunia
Ketiga secara ekonomis tergantung padanya; di kala negara-negara industri
mengalami perkembangan, maka negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami
kolonialisme dan neo-kolonialisme justru menjadi semakin terbelakang. Menurut
teori Sistem Dunia perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas tiga
jenjang: negara-negara inti yang mengawali proses industrilisasi dan berkembang
pesat, negara-negara semi-periferi yang menjalin hubungan dagang negara-negara
inti dan secara ekonomis tidak berkembang. Dan negara-negara periferi yang
melalui kolonisasi ditarik ke dalam sistem dunia. Kesenjangan yang berkembang
antara negara-negara inti dengan negara-negara lain sudah sedemikian lebarnya
sehingga tidak mungkin tersusul lagi.
PERUBAHAN
SOSIAL DI ASIA TENGGARA
Menurut Boeke dalam
masyarakat Barat kekuatan kapitalisme telah membawa peningkatan taraf hidup dan
persatuan masyarakat, sedangkan dalam masyarakat Timur kapitalisme justru
bersifat merusak. Menurut Furnivall masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah
tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak berbaur; namun saling
melekat laksana kembar siam dan akan hancur bilamana dipisahkan. Menurut Geertz
penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem sawah di Jawa mengakibatkan suatu
peningkatan jumlah penduduk pedesaan yang diserap sawah melalui proses inovasi
pertanian, yaitu suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang
memungkinkan tiap orang tetapi menerima bagian dari panen meskipun bagiannya
memang menjadi semakin mengecil.
Menurut W.R.
Amstrong dan Terry McGee konsep involusi perkotaan terkait dengan sistem pasar
di daerah perkotaan Dunia Ketiga, yang senantiasa mampu menyerap tenaga kerja,
sedangkan Evers (1974) lebih mengaitkan konsep involusi dengan perubahan
struktural di daerah perkotaan; meskipun penduduk bertambah, namun kurang
terjadi diferensiasi sosial.
BAB 15
Teori Sosiologi
Untuk menjelaskan
proses perubahan sosial dan mendasar dan berjangka panjang di Eropa seperti
industrialisasi, urbanisasi, dan rasionalisasi para ahli sosiologi klasik di
masa lampau mulai berteori.
TEORI,
PARADIGMA, DAN PENJELASAN SOSIOLOGIS
Teori, menurut
Kornblum, merupakan seperangkat konsep saling terkait yang bertujuan
menjelaskan sebab-sebab terjadinya gejala yang dapat diamati. Inti penjelasan
ilmiah ialah pencarian faktor penyebab. Dalam proses pencarian sebab ini
dibedakan antara faktor yang harus dijelaskan (explanandum) dan faktor penyebab (explanans), atau antara variabel tergantung (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Di samping penjelasan kausal dikenal pula
bentuk penjelasan fungsional. Teori menjawab pertanyaan: “Mengapa?” pertanyaan
yang hendak dijawab oleh teori sosiologi ialah mengapa dan bagaimana masyarakat
dimungkinkan, dan dikenal dengan nama the
problem of order. Karena sosiologi mempunyai banyak teori dan banyak
paradigma maka sosiologi dinamakan suatu ilmu berparadigma majemuk.
KLASIFIKASI
TEORI SOSIOLOGI
Dalam sosiologi
ditempuh berbagai cara untuk mengklasifikasikan teori. Kita telah melihat
klasifikasi teori sosiologi klasik dan modern yang didasarkan pada urutan waktu
lahirnya teori, yang antara lain ditempuh Johnson. Collins (1994) pun
mengaitkan teori masa kini dengan karya pemikir awal sosiologi.
TEORI
MAKROSOSIOLOGI (1): FUNGSIONALISME
Tokoh
Fungsionalisme Klasik
Analogi organik
merupakan suatu cara memandang masyarakat yang banyak kita jumpai di kalangan
penganut teori fungsionalisme dan mulai dijumpai dalam karya Comte. Pendekatan
Comte berupa peminjaman konsep ilmu-ilmu biologi dinamakan pendekatan organicism. Comte merupakan perintis
pendekatan positivisme yang memakai metode ilmiah untuk mengumpulkan data
empiris. Positivisme dan organisisme kita jumpai pula dalam karya Spencer.
Spencer
berpandangan bahwa masyarakat manusia pun berkembang secara evolusioner dari
bentuk sederhana ke bentuk kompleks. Dalam proses peningkatan kompleksitas dan
diferensiasi ini, menurut Spencer, terjadi pula diferensiasi fungsi. Durkheim
secara rinci membahas konsep fungsi dan menggunakannya dalam analisis terhadap
berbagai pokok pembahasannya.
Radcliffe-Brown
mengemukakan bahwa fungsi merupakan sumbangan suatu kegiatan terhadap
kesinambungan struktur sosial. Malinowski bahkan berpandangan bahwa setiap
unsur kebudayaan mempunyai fungsi
penting dalam masyarakat.
TOKOH
FUNGSIONALISME MODERN
Parsons merupakan
tokoh sosiologi modern yang mengembangkan analisis fungsional dan secara sangat
rinci menggunakannya dalam karya-karyanya. Merton melakukan rincian lebih
lanjut dalam analisis fungsional dengan memperkenalkan konsep fungsi,
disfungsi, fungsi laten, dan fungsi manifest.
TEORI
MAKROSOSIOLOGI (2): TEORI KONFLIK
Tokoh
Awal: Karl Marx
Tokoh teori konflik
ialah Marx. Sumbangan Marx kepada sosiologi terletak pada teorinya mengenai
kelas. Marx berpendapat bahwa sejarah masyarakat hingga kini adalah sejarah
perjuangan kelas.
Tokoh
Awal: Max Weber
Karya Weber sering
dikaitkan dengan teori sosiologi yang berbeda. Uraian Weber mengenai tindakan
sosial sebagai pokok perhatian sosiologi dijadikan dasar bagi pengembangan
teori interaksionisme simbolik. Weber pun dianggap sebagai penganut teori
konflik.
Tokoh
Modern: Ralf Dahrendorf
Dahrendorf melihat
bahwa struktur masyarakat industri telah mengalami perubahan besar sejak
zamannya Marx. Sehingga ia menolak beberapa di antara pandangan Marx.
Dahrendorf kemudian membuat teori konflik yang dalam berbagai segi berbeda
dengan teori Marx. Menurut teori konflik versi Dahrendorf masyarakat terdiri atas organisasi-organisasi
yang didasarkan pada kekuasaan atau wewenang yang dinamakannya asosiasi yang
dikoordinasi secara paksa.
Tokoh
Modern: Lewis Coser
Coser terkenal
karena pandangannya bahwa konflik mempunyai fungsi positif bagi masyarakat.
Menurut Coser konflik adalah perjuangan mengenai nilai serta tuntutan atas
status, kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud
menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.
TEORI
MIKROSOSIOLOGI (1): TEORI PERTUKARAN
Hubungan antara dua
orang kekasih renggang dan akhirnya terputus tatkala salah seorang dipindahkan
ke daerah lain sehingga biaya untuk berkomunikasi menjadi sangat mahal. Seorang
dermawan memberikan sumbangan dalam jumlah besar pada suatu yayasan amal, dan
yayasan penerima sumbangan pula menyatakan rasa terima kasihnya secara terbuka
di muka umum; namun sumbangan dihentikan tatkala dermawan bersangkutan merasa
bahwa pengurus yayasan kurang memperlihatkan rasa terima kasih mereka. Kasus
ini mencerminkan adanya asas pertukaran dalam hubungan sosial antarmanusia, dan
oleh sejumlah ahli sosiologi asas pertukaran dikembangkan menjadi teori untuk
menjelaskan ada-tidaknya hubungan sosial.
Teori
Pertukaran Klasik
Teori pertukaran
awal mula-mula dikembangkan oleh para ahli antropologi Inggris seperti
Malinowski, dan diperhalus oleh ahli antropologi Perancis seperti Mauss dan
Levi-Strauss.
Teori
Pertukaran Modern
Homans berpendapat
bahwa pertukaran yang berulang-ulang mendasari hubungan sosial yang
berkesinambungan antara orang tertentu. Teori Blau berusaha menjembatani dua
jenjang analisis sosiologi, dan membatasi diri pada interaksi yang melibatkan
asas pertukaran dengan mengakui bahwa tidak semua interaksi melibatkan
pertukaran.
TEORI
MIKROSOSIOLOGI (2): INTERAKSIONISME SIMBOLIK
Interaksionisme
Simbolik Klasik
Teori yang
mengkhususkan diri pada interaksi sosial mula-mula bersumber pada pemikiran
para tokoh sosiologi klasik dari Eropa seperti Simmel dan Weber. Simmel
berpandangan bahwa muncul dan berkembangannya kepribadian seseorang tergantung
pada jaringan hubungan sosial yang dimilikinya. Weber memperkenalkan
interaksionisme dengan menyatakan bahwa sosiologi ialah ilmu yang berusaha memahami
tindakan sosial.
Interaksionisme
Simbolik Modern
Tokoh sosiologi
modern yang merintis pemikiran dasar mengenai interaksionisme ialah, antara
lain, James, Cooley, Dewey, dan Mead. James terkenal karena pendapatnya bahwa
perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri seseorang muncul dari interaksinya
dengan orang lain. Cooley terkenal karena antara lain mengembangkan konsep looking glass self yang intinya ialah
bahwa seseorang mengevaluasi dirinya sendiri atas dasar sikap dan perilaku
orang lain terhadapnya. Menurut Dewey pikiran seseorang berkembang dalam rangka
usahanya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan bahwa pikiran tersebut
ditunjang oleh interaksinya dengan orang
lain. Sumbangan pikiran penting Mead antara lain terletak pada pandangannya bahwa
diri seseorang berkembang melalui tahap tertentu, dan bahwa dalam proses
perkembangannya diri ini seseorang belajar mengambil peran orang lain. Thomas
memperkenalkan konsep definisi situasi dalam sosiologi interaksi, yang intinya
ialah bahwa sebelum bertindak untuk menanggapi suatu rangsangan dari luar,
individu selalu memberi makna pada situasi yang dihadapinya. Blumer menjabarkan
lebih lanjut pemikiran interaksionisme simbolik.
Dalam teori Goffman
individu digambarkan sebagai pelaku yang melalui interaksi secara aktif
mempengaruhi individu lain. Peter Berger membuat suatu kerangka pemikiran untuk
memperlihatkan hubungan antara individu dan masyarakat. Menurutnya dalam
masyarakat terdapat proses dialektis mendasar yang terdiri atas tiga langkah,
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
PERKEMBANGAN
MUTAKHIR DALAM TEORI SOSIOLOGI
Menurut Ritzer
teori sosiologi di Amerika sebelum tahun 80-an ditandai oleh ekstremisme
mikro-makro, yaitu konflik antara teori dan teoretikus ekstrem mikro dan
ekstrem makro. Namun Ritzer mencatat bahwa sejak tahun 80-an telah terjadi
perkembangan baru dalam teori sosiologi. Ritzer mencurahkan perhatian pada tiga
perkembangan, yaitu meningkatnya perhatian terhadap kaitan mikro-makro dalam
sosiologi di Amerika Serikat, hubungan antara agency dan structure
dalam sosiologi di Eropa, dan sintesis teori.
BAB 16
Metode Sosiologi
Dalam usaha
mengumpulkan data yang dapat menghasilkan temuan-temuan baru dalam sosiologi,
para ahli sosiologi perlu memperhatikan tahap penelitian, yang saling berkaitan
secara erat.
PERUMUSAN
MASALAH
Sebelum memulai
suatu usaha penelitian seseorang ahli sosiologi terlebih dahulu harus melakukan
tinjauan terhadap bahan-bahan pustaka agar dapat mengetahui temuan-temuan yang
sebelumnya.
TAHAP
PENYUSUNAN DESAIN PENELITIAN DAN PENGUMPULAN
DATA
Setelah pertanyaan
penelitian dirumuskan, peneliti harus menentukan metode penelitian yang akan
digunakannya. Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal berbagai metode pengumpulan data,
seperti metode survai serta beberapa metode nonsurvai seperti metode riwayat
hisup, studi kasus, analisis isi, kajian data yang telah dikumpulkan oleh pihak
lain, dan eksperimen.
METODE-METODE
UTAMA PENGUMPULAN DATA
Dalam penelitian
survai hal yang hendak diketahui peneliti dituangkan dalam suatu daftar
pertanyaan baku. Teknik survai mengandung persamaan dengan sensus; namun pada
sensus yang menjadi subyek wawancara adalah seluruh populasi sedangkan dalam
teknik survai daftar pertanyaan diajukan pada sejumlah subyek penelitian yang
dianggap mewakili populasi. Para subyek penelitian merupakan contoh yang
ditarik dari populasi.
Pengamatan
merupakan suatu metode penelitian di mana peneliti mengamati secara langsung
perilaku para subyek penelitiannya dan merekam perilaku yang wajar, asli, tidak
dibuat-buat, spontan dalam kurun waktu relatif lama sehingga terkumpul data
yang bersifat mendalam dan rinci. Dalam sosiologi dibedakan antara penelitian
di mana pengamat (1) sepenuhnya terlibat, (2) berperan sebagai pengamat, (3)
berperan sebagai peserta, (4) sepenuhnya melakukan pengamatan tanpa
keterlibatan apa pun dengan subyek penelitian. Salah satu kelebihan pengamatan
terlibat bila dibandingkan dengan survai ialah bahwa pengamatan terlibat lebih
memungkinkan terjalinnya hubungan dekat (rapport)
antara peneliti dengan subyek penelitiannya.
Riwayat hidup
merupakan suatu teknik pengumpulan data untuk mengungkapkan pengalaman
subyektif dengan tujuan mengungkapkan data baru. Dalam penelitian dengan
memakai teknik studi kasus berbagai segi kehidupan sosial suatu kelompok sosial
menyeluruh. Suatu masalah penelitian dapat pula diungkapkan dengan jalan
menganalisis isi berbagai dokumen seperti surat kabar, majalah, dokumen resmi
maupun naskah di bidang seni dan sastra. Suatu penelitian dapat pula dilakukan
dengan mengkaji data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain, misalnya oleh berbagai
instansi pemerintah serta pihak swasta, ataupun oleh peneliti lain. Meskipun
tenik eksperimen lebih banyak dijumpai dalam ilmu sosial lain seperti
psikologi, namun dalam hal tertentu kita pun menjumpai eksperimen dalam
sosiologi.
PENELITIAN
KUALITATIF DAN KUANTITATIF
Dalam penelitian
sosial sering dibedakan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Penelitian yang memakai metode survai dan sensus menggunakan pendekatan
kuantitatif, sedangkan penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mengutamakan
segi kualitas data dengan menggunakan teknik pengamatan dan wawancara mendalam.
ETIKA
PENELITIAN
Dalam pencarian
maupun pemanfaatan ilmu seorang ilmuwan harus menghormati aturan etika, seperti
keikutsertaan secara sukarela, tidak membawa cedera bagi para subyek
penelitian, asas anonimitas dan kerahasiaan, tidak memberikan keterangan yang
keliru, dan menyajikan data penelitian secara jujur.
ANALISIS
DATA DAN PENULISAN HASIL PENELITIAN
Analisis data
kuantitatif dinamakan univariat bilamana yang dipelajari hanya satu gejala,
bivariat bila yang ingin diketahui ialah hubungan antara dua gejala, dan
multivariat bila yang diteliti ialah hubungan antara lebih dari dua gejala.
Analisis data univariat hanya memungkinkan dilakukannya deskripsi, sedangkan
analisis data bivariat dan multivariat memungkinkan peneliti untuk melakukan
pula penjelasan sebab-akibat. Dalam penelitian kualitatif mempelajari catatan
penelitian lapangan, yang secara rinci memuat hasil wawancara mendalam dan
pengamatannya. Analisis data kualitatif berlangsung terus-menerus semenjak
peneliti mulai memasuki lapangan dan arah penelitian dapat berubah sesuai
dengan hasil analisis di lapangan.
HUBUNGAN
METODE, TEORI DAN PARADIGMA SOSIOLOGI
Metode penelitian
yang dipergunakan ahli sosiologi sering terkait dengan teori dan paradigma
sosiologi yang dianutnya. Menurut Ritzer masalah apa yang akan diteliti seorang
peneliti, pertanyaan penelitian yang akan diajukannya, caranya mengajukan
pertanyaan penelitian, dan aturan yang diikutinya dalam menafsirkan temuan
penelitiannya ditentukan oleh paradigma yang dianutnya.
Menurut Ritzer
sosiologi merupakan suatu ilmu yang berparadigma majemuk karena mempunyai tiga
paradigma yaitu (1) paradigma fakta sosial (2) paradigma definisi sosial dan
(3) paradigma perilaku sosial. Menurutnya ketiga paradigma tersebut dibedakan
satu dengan yang lain dalam tiga hal: (1) exemplar (acuan atau contoh yang
dijadikan teladan), (2) teori, dan (3) metode.
Menurut Ritzer
paradigma fakta sosial menganut teori struktur-fungsi atau teori konflik dan
menggunakan metode survai. Paradigma definisi sosial menggunakan teori tokoh
seperti Weber, Parsons, Maclver, Mead, Cooley, Thomas, Blumer, Schutz,
Hussserl, dan Garfinkel, dan metode penelitian yang diutamakan ialah
pengamatan. Sedangkan penganut paradigma pelaku sosial menggunakan teori
perilaku sosial dari Burgess dan Bushell, atau teori pertukaran dari Homans dan
mengutamakan metode eksperimen.
PERKEMBANGAN
MUTAKHIR DALAM METODE PENELITIAN
Dalam dua dasawarsa
terakhir telah berkembang berbagai metode penelitian baru dalam ilmu-ilmu
sosial. Ada yang berorientasi pada masyarakat pedesaan dan ada yang
berorientasi pada masyarakat perkotaan. Pun ada yang khas diperuntukkan bagi
kaum perempuan sebagai subyek. Ada yang menekankan pada segi kecepatan, dan ada
yang menekankan pada segi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Teknik analisis
data kuantitatif pun berkembang pesat dengan memanfaatkan perkembangan dalam
statistika. Perkembangan ini mengakibatkan kesenjangan antara teknik yang digunakan
dalam komunikasi ilmiah di tingkat internasional dengan teknik yang kini masih
mendominasi buku teks, bahan kuliah, dan praktik penelitian kuantitatif para
ilmuwan sosial kita.